Bertolt Brecht oleh Sigit Susanto*
Aku tidak
memerlukan nisan kuburan, tapi
Kalau
kalian memerlukanku
Aku
harapkan, kenanglah:
(Bertolt
Brecht)
Dia telah membuat nasihat-nasihat. Kami
Telah
melaksanakannya nasihat-nasihat tersebut
Hanya
melalui semacam untaian kata-kata
Kita
semua dihargai
(Tanggapan
kawan Brecht)
Pada tanggal
14 Agustus 1956 Bertolt Brecht meninggal pada usai 58 tahun. Penyair
Jerman dengan nama lengkap Eugen Bertold Friedrich Brecht ini lahir di kota
Augsburg pada 10 Februari 1898. Ia anak seorang direktur perusahaan kertas. Pada
awal kariernya, yakni ketika ia berusia 14 tahun sudah mulai menulis
sajak dengan judul “Pohon yang Terbakar” (Der brennende Baum). Kemudian
dengan menggunakan pseudonim Eugen
Brecht ia tulis naskah drama berjudul “Alkitab”
(Die Bibel) pada majalah sekolah Die Ernte.
Pada waktu
Perang Dunia I pecah tahun 1914, Brecht masih duduk di SMA dan mulai aktif
menuliskan sajak-sajak patriotik, juga pada lembaran-lembaran kartu pos.
Pada tahun yang sama sajak Brecht pertama kali dimuat koran lokal Augsburger
Neuesten Nachrichten.
Ketika Brecht menginjak usia 16 tahun telah
menulis sajak sindiran untuk orang-orang kaya termasuk keluarganya. Sajak yang
pernah dipublikasikan tersebut sebagai berikut:
Aku lahir
sebagai anak laki-laki
Orang-orang kaya termasuk orang tuaku mengikatku dengan kerah baju, begitulah aku dididik
Kebiasaan yang selalu dilayani
Dan diajari cara memerintah. Tapi
Setelah aku dewasa dan bisa sadar diri
Tak tertarik orang-orang di sekitarku
Tak mau memerintah dan diperintah
Dan aku tinggalkan kelasku, lalu menggabungkan diri dengan rakyat biasa.
Orang-orang kaya termasuk orang tuaku mengikatku dengan kerah baju, begitulah aku dididik
Kebiasaan yang selalu dilayani
Dan diajari cara memerintah. Tapi
Setelah aku dewasa dan bisa sadar diri
Tak tertarik orang-orang di sekitarku
Tak mau memerintah dan diperintah
Dan aku tinggalkan kelasku, lalu menggabungkan diri dengan rakyat biasa.
Di bangku
SMA, Brecht dikenal sebagai siswa yang bandel, bahkan dijuluki oleh gurunya
sebagai “Enfant
Terrible”.
Setamat SMA Brecht melanjutkan kuliah
mengambil jurusan kedokteran di universitas Ludwig Maximilian Munich. Kuliahnya
pun akhirnya gagal, karena ia tak pernah masuk, di samping suasana perang makin
mencekam. Menurut kritikus sastra di Jerman, Marcel Reich-Ranicki
pada bukunya berjudul Nachprüfung (Menguji Ulang), bahwa karya drama
Brecht sering dipengaruhi oleh latar negara yang berbeda. Misalnya,
drama yang pertama kali diakui publik berjudul “Mann ist Mann” (Lelaki
adalah Lelaki) terpengaruh latar India. Drama berlatar Rusia berjudul “Mutter”
(Ibu). Drama berlatar London berjudul “Dreigroschenoper” (Tiga Opera
Picisan), sedang drama berlatar Chicago berjudul “Heilige Johanna”
(Yohanna yang Suci). Proses kreatif Brecht menurut Ranicki, ia tak hanya
genius, namun juga bekerja cepat serta terus menerus. Naskah yang sudah jadi,
sering kali dicoret dan dibuang. Bagi Brecht pementasan drama di panggung
ibarat sebuah potret. Dan potret itu harus bisa dilihat penonton dengan
sangat jernih. Sebab itu Brecht dikenal seorang dramaturg yang jeli mengamati
setiap mimik, gerak tubuh, kata, serta sosok. Dengan kata lain pementasan
di panggung harus seindah puisi. Drama menurutnya sebagai forum berdebat dan
bukan sebagai tempat ilusi belaka.
Pada tahun
1920 ibu Brecht meninggal dan sejak itu ia pergi dari rumahnya serta
menyewa apartemen di Munich bersama Marianne Zoff, penyanyi asal sekotanya
Augsburg. Pada tahun 1922 mereka kawin. Pada tahun 1923 pasangan ini
dikaruniai anak perempuan bernama Hanne Marianne. Ketika anakya meninggal,
Brecht marah dan mengumpat, “Ruh sudah turun dari
Marianne Zoff, sundel ini harusnya tak
punya anak, anakku berasal darinya, tapi ia tak memiliki
hati yang bersih.”
Pada tahun 1927 pasangan ini cerai. Zoff
kala itu
menjadi pemain drama terkenal. Tak hanya Goethe sebagai penyair yang
digemari banyak perempuan hingga punya delapan pacar. Brecht pun demikian. Ia
dikelilingi banyak perempuan. Salah satu yang memikat hatinya adalah,
seorang perempuan Yahudi juga pemain drama bernama Helene Weigel. Pada tahun
1928 ia kawin dengan Weigel. Dua tahun
kemudian pasangan baru ini mendapat
seorang anak perempuan bernama Maria Barbara.
Brecht
tergolong penyair dan dramaturg yang sangat produktif. Beberapa naskah
dramanya yang paling sering mendapat banyak pujian masyarakat luas berjudul “Baal”,
“Trommel in der Nacht” (Genderang Malam), dan “Dreigroschenoper” (Tiga Opera Picisan), “Leben
des Galilei” (Kehidupan Galilei),
serta “Mutter Courage und ihre Kinder” (Ibu Courage dan
Anak-anaknya).
Akan tetapi Gerhard Szczesny pada bukunya berjudul Brecht, Leben des
Galilei
mengkritik Brecht, kalau Brecht telah membelokkan alur kehidupan
Galilei ke dalam kehidupannya sendiri. Pada dramanya berjudul “Happy
End”
disisipkan sebuah lagu karangannya sendiri berjudul Surabaya-Johnny.
Sejauh ini belum terkuak motifnya,
kenapa Brecht tertarik memakai nama
Surabaya, padahal ia sendiri belum pernah menginjakkan kaki di Surabaya?
Marxisme
Brecht mulai
berkenalan dengan komunisme sejak tahun 1919, namun ia benar-benar
mendalami ajaran marxisme pada tahun 1927. Brecht mulai dianggap sebagai
sastrawan kiri yang revolusioner, namun ia tak pernah menjadi anggota
partai. Karya-karyanya baik berupa sajak maupun naskah drama lebih banyak
mengusung tema kemanusiaan serta kritik pada kelas borjuis. Sejak tahun 1923,
nama Brecht mulai dikenal luas di kalangan sastrawan. Dalam bergaul maupun berkarya ia
suka memakai wacana khas marxis, yakni dialektika. Sebuah wacana
yang membenturkan sebuah kemapanan yang biasanya dikuasai
kelompok borjuis atas kehidupan realitas orang-orang kelas bawah. Herbert
Ehering menganggap, “Kepenyairan dan keahlian Brecht menulis naskah drama
melahirkan gaung baru, melodi baru serta visi yang baru. Brecht selalu memandang
dampak manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain. Tak pernah ia
membiarkan dirinya sendiri terisolasi.” Kalau dicermati antara Brecht dan
Georg Lukà cs meskipun sama-sama menggali pemikiran marxis, ternyata
terjadi persimpangan pandangan. Brecht menganggap, teori realisme yang
dikembangkan Lukà cs lebih banyak berkiblat ke Moskow dan berorientasi
ke sastra
klasik. Brecht mengajak menghindari teori yang menafsirkan realisme sebagai sebuah
bentuk aliran. Ia menjuluki Lukà cs bukan marxist, namun murxist. Gaya Brecht
menyerang lawan dengan membalikkan suatu istilah seperti dalam dialektika
materialisme marxis. Misalkan, menyadari bila kelompok borjuis sering
menikmati musik, maka ia sebut bukan musik, tapi dibalik “misuk.” Ia
menciptakan kata rekaan “Tui” untuk menyindir kata “intellektuell” menjadi
“Tellekt-Uell-In”. Ia pun
berpendapat Thomas Mann, sastrawan
yang dikenal memusuhi Hitler dari luar Jerman, dianggapnya sebagai sastrawan borjuis. “Tak ada
gunanya membaca karya Thomas Mann,” kata Brecht suatu kali. Hanya saja ada
sedikit persamaan antara Mann dan Brecht. Kedua sastrawan itu sama-sama
punya istri orang Yahudi.
Kalau
sastrawan kebanyakan membaca karya-karya sastrawan lain. Brecht membaca buku
pilih-pilih. Sastrawan yang diakui dunia pun luput dari bacaannya.
Brecht tidak pernah membaca karya Horvath, Musil, Conrad, Faulkner,
Camus, Sartre, dan Beckett. Bahkan karya Proust tak sebaris pun dibacanya.
Ulysses, misalnya hanya dibuka lalu ditutup kembali. Tapi Brecht tidak
seperti Churchill, peraih nobel sastra yang mengaku tak pernah membaca buku sastra,
selain berita di media. Brecht tetap membaca karya-karya yang
dianggapnya
sejalan dengan aliran realisnya, yakni Balzac, Tolstoy, Gorky, dan
Friedrich Hebbel. Seperti kebanyakan sastrawan sering mendapat pengaruh dari
sastrawan pendahulunya.
Dalam hal ini Brecht mengakui terus terang, kalau dirinya banyak dipengaruhi oleh Gorky. Bahkan tak hanya mempengaruhi proses kreatifnya, ia mencoba mendramatisasikan novelnya Gorky berjudul Ibu (Mutter) dan dibuat naskah drama juga dengan judul sama “Ibu”(Mutter). Ia menilai apa yang diceritakan oleh Gorky berdasar realitas sebenarnya. Dan telah melalui pengamatan saksama dan tak mungkin salah. Sebab itu meniru cara Gorky tidaklah mudah. Gorky tak hanya punya talenta, tapi telah mengumpulkan pengalamannya. Untuk memerangi ketidaktahuan dankebodohan, menurut Brecht diperlukan lima tahapan yang sulit: 1. Keberanian, untuk menulis kebenaran, 2. Kepintaran, mengenali lebih dekat
kebenaran,
3. Seni, kebenaran sebagai senjata, 4. Keputusan, memilih kebenaran
yang sesungguhnya, 5. Daftar, mendaftar jumlah kebenaran dan menyebar
luaskan. Kelemahan Brecht akui sendiri, kalau dirinya tidak mampu berfilsafat
seperti Goethe dan Hebbel. Ia sering lupa dan tak terbiasa menghafalkan
wacana filsafat. Ia lebih sering mempraktikkan langsung dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Eksil
Pada tahun
1930 karya-karya Brecht baik berupa sajak maupun naskah drama dilarang
beredar di Jerman. Bahkan beberapa pementasan dramanya digagalkan oleh polisi.
Akibatnya Brecht tahun 1933 bereksil ke Paris, London, Denmark, Swedia,
Finlandia, Rusia, USA, dan Switzerland. Sewaktu ia berada di Denmark tahun 1940
berhasil menulis naskah drama berjudul “Tuan Puntila dan Pembantunya
Matti” (Herr Puntila und sein Knecht Matti). Naskah lainnya yang berhasil
ditulis selama dalam pengasingannya antara tahun 1938-1945 berjudul“Kehidupan Galilei”. Disusul naskah drama
yang fenomenal serta banyak
mendapat
kajian berjudul “Ibu Courage dan
Anak-anaknya”. Bisa dimengerti di zaman Stalin
pada pertengahan Mei 1941 Brecht berada di Leningrad dan Moskow,
namun segera akan meninggalkan Rusia. Sebaliknya ia berada di Los Angeles
lebih dari enam tahun. Brecht mencoba memainkan beberapa dramanya, namun kurang
berhasil. Ia membuat perbandingan antara visi kapitalisme Amerika
dengan kehidupan riil Amerika. Tujuan Brecht memang mengumpulkan pengalaman
kepenyairannya dan pementasan dramanya, namun karena tidak kerasan, ia
tinggalkan USA.
Setelah
menjalani masa pengasingannya selama 15 tahun, akhirnya Brecht memutuskan
kembali ke Jerman pada tahun 1948. Akan tetapi ia tidak langsung menuju
Jerman, melainkan tinggal secara ilegal di Switzerland. Mengingat negeri
Switzerland adalah satu-satunya negeri yang menggunakan bahasa Jerman dan tidak
diduduki tentara Nazi. Di Zürich Brecht sempat mementaskan beberapa
karya dramanya. Max Frisch, sastrawan Swiss kawannya Brecht mengabarkan,
“Brecht
awalnya datang kagum, negaranya nyaman. Lama kelamaan ia tahu
juga, bila lingkungannya makin kurang nyaman”. Frisch juga menganggap Brecht sebagai
sastrawan klasik baru. Setahun kemudian ia benar-benar kembali ke
Jerman, namun tidak mau ke Jerman Barat, melainkan ia menetap di Jerman Timur.
Brecht bersama istrinya Helene Weigel menetap di Berlin Timur dan
mendirikan grup drama bernama Berliner Ensemble. Ia di Jerman timur dianggap
sebagai bapak penyair nasional.
Pada tahun
1950 Brecht berganti paspor baru menjadi warga Austria. Cara ini ia tempuh,
agar memudahkan dalam melakukan perjalanan ke luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus
2006 ini tepat 50 tahun kematian Brecht dan diperingati di tiga negara
berbahasa Jerman; Jerman, Austria dan Switzerland. Berbagai
kegiatan sastra, diskusi, simposium, tayangan film serta ulasan di media
mengenangnya. Brecht dianggap oleh banyak kalangan sebagai sastrawan klasik
baru. Karya-karyanya sudah diterjemahkan lebih dari 42 bahasa.
*Dikenal sebagai salah satu moderator Apresiasi Sastra
(APSAS) dan pioner Festival Puisi Danau yang mula-mula diadakan di tepi danau
Zug sebelum akhirnya menyebar ke sejumlah danau di Indonesia. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 21 Juni 1963. Sigit lulus AKABA 17 – UNTAG Semarang pada tahun 1988. Karyanya yang telah
terbit: Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian: Novel (2004), Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-1 (2005), Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-2 (2008),
dan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-3 (2012). Selain
itu, dia juga menerjemahkan tiga buku Kafka dari bahasa Jerman: Proses
- Kafka, Surat untuk Ayah – Kafka, Metamorfosis -
Kafka, serta buku Kesetrum Cinta, semacam culture
shock dalam kesaksian pengembaraannya. Sejak April 1996 Sigit menetap di Swiss, dan kerap
mengembara ke berbagai negara di dunia.
Baca Juga: