Kebahagiaan Puitik - Sofyan RH. Zaid
Kebahagiaan Puitik
oleh Sofyan RH. Zaid
Seakan sama dari zaman ke zaman,
banyak puisi lahir, buku-buku puisi terbit, dan para penyair muncul. Sementara sejumlah media massa telah tutup atau menutup rubrik sastranya. Banyak penerbit
menolak menerbitkan puisi karena seringnya rugi. Buku-buku puisi yang terbit
secara indie atau POD pun tidak laku. Menyadari itu semua, seseorang bertanya
pada saya: “Untuk apa penyair masih menulis puisi? Sedang puisi itu sendiri
bukanlah nasi yang bisa mengeyangkan diri penyair atau orang-orang miskin.”
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan waktu
itu, namun seperti ‘orang berjalan sambil membuat jalan’, saya terus mencari
jawabnya pada buku-buku, orang-orang, dan pengalaman.
Di antara ragam karya
sastra, puisilah yang paling sukar dibuat. Namun ketika penyair selesai membuat
puisinya dengan berdarah-darah, ada satu kepuasaan batin yang tidak bisa
dijelaskan. Kepuasaan yang hanya diperoleh seorang penyair dari momen tersebut,
tidak dari yang lain, dan itulah yang disebut kebahagiaan puitik.
Saya temui seseorang itu dan
membisikkan jawabannya: “Jika penyair masih menulis puisi di tengah apapun yang
terjadi, maka kebahagiaan puitik adalah tujuannya.”
Kenyataan ini seolah kian
menguatkan anggapan bahwa seni merupakan saudara kandung filsafat dan agama
yang memiliki -salah satu- tujuan yang sama; kebahagiaan. Jalan kebahagiaan
dalam agama dengan cara ‘menyatu’ dengan Tuhan. Jalan kebahagiaan dalam
filsafat dengan cara cinta kebenaran.
Konsep kebahagiaan dalam filsafat
-secara garis besar- kemudian melahirkan asketisme dan hedonisme yang berasal
dari dua murid Socrates; Anthitenes dan Aristippus.Bagi Antithenes, kebahagiaan
bersifat metafisik, yakni meninggalkan kesenangan material (asketisme).
Sementara bagi Aristippus kebahagiaan bersifat fisik, yaitu memuaskan hasrat
material (hedonisme).
Lantas di manakah posisi
kebahagiaan puitik? Mari kita merujuk Aristoteles -untuk menguatkan posisi-
yang percaya bahwa manusia tidak serta merta memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan bukanlah sekuntum bunga yang bisa langsung kita petik di taman tepi
jalan. Manusia hanya bisa mengusahakan “perantara” untuk bahagia.
Perantara tersebut -menurut Aristoteles- adalah bertindak berdasarkan moral dan
rasional, mengendalikan hawa nafsu, dan jiwa yang terdidik. Bahkan secara
tegas, dia menyatakan; orang yang berniat mendapatkan kebahagiaan dengan cara
memenuhi kenikmatan fisik, seperti kekuasaan, kekayaan, dan s3ks tidak beda
jauh dengan binatang ternak.
Oleh karena itu, menulis puisi dan
menyelesaikannya merupakan usaha penyair membuat perantara untuk memperoleh
kebahagiaan. Maka, sejatinya antologi puisi merupakan kumpulan kebahagiaan
puitik, begitu pun dengan Kata Menjelma Rasa karya Jamaluddin ini.
Bahkan Jamal dalam buku ini menulis puisi tentang kebahagiaan itu sendiri.
Kebahagiaan yang diusung Jamal diawali dengan cara “mencemburui kebahagiaan”:
Bahagia
Aku
sangat cemburu pada bahagia
saat jiwamu menyambut wajahnya
saat menyapa
saat memanggil
saat pelukan mesra pada bahagia
Cirebon, Juli 2015
Setelah mencemburui, Jamal
kemudian “mempercayai” kalau dalam hidup ini, cinta -pada wanita-merupakan
perantara untuk bahagia sesaat sekaligus terluka abadi. Baginya cinta serupa
dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan:
Cinta-Bahagia Sesaat
Cintalah yang mengajarkan luka yang abadi,
di samping ia melekatkan bahagia yang sesaat
Cirebon, Januari 2015
Wajar jika Jamal menulis dalam
puisi “Sakit Hati”: kalau tidak ingin merasakan sakit hati, / maka
jauhilah mencintai.
Sementara di puisi lainnya, setelah melalui proses
“cemburu” dan “percaya”, Jamal “mengerti” bahwa kebahagiaan adalah hati yang
lapang menerima walau itu sesuatu yang tidak kita sukai:
Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah dimana hati kita lapang menerima
sesuatu hal yang sejatinya kita tidak menyukainya.
Pekalongan, April 2015
Lebih dalam tentang kebahagiaan,
Jamal secara filosofis menyatakan melalui puisi yang berjudul “Menangis”
yaitu: menangis bukanlah mengemis.
Sebagai penyair yang menyadari
cinta sebagai perantara untuk bahagia dan terluka, Jamal sampai pada kesadaran
akan kebahagiaan yang hakiki, yaitu pernikahan:
Cinta-Pernikahan
Cinta sejati adalah cinta tanpa pertemuan
Pertemuan cinta adalah pernikahan
Cirebon, Agustus 2015
Ya, “pernikahan merupakan
kebahagiaan yang dilembagakan,” kata Hamka. Saya kira, inti dari kebahagiaan
Jamal dalam buku ini adalah “manusia bisa membeli hiburan, namun bukan
kebahagiaan, apalagi kebahagiaan puitik!”.
Bekasi, 17 November 2017