Review Buku: MATA HARI, Tänzerin, Femme fatale, Spionin oleh Sigit Susanto
Judul Buku: MATA HARI, Tänzerin, Femme fatale, Spionin
Judul Asli: THE SPY WHO NEVER WAS. THE LIFE AND THE LOVES OF MATA HARI
Pengarang: Julia Keay (281 hal)
Penerbit: Wilhelm Heyne Verlag, München, 1992.
Penari
Buku di atas bukan sebuah buku sastra fiksi, melainkan sebuah biografi.
Sebuah kisah nyata yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Diceritakan
seorang wanita Belanda di era perang dunia pertama menjadi penari orientalis
dan spion politik untuk pemerintah Jerman dan Perancis. Gadis Belanda itu
bernama Margarethe Gertruide Zelle. Dia lahir di Leeuwarden, Belanda. Ketika
dia berusia 19 tahun, tepatnya tahun 1895, dia dikawin oleh Rudolph Macleod,(39
tahun). Rudolph adalah perwira tinggi militer Belanda yang bertugas di
Indonesia. Pasangan baru kawin ini diboyong ke Indonesia, pertama kali tinggal
di Semarang. Margarethe senang dengan rumah di Semarang yang nyaman. Tak berapa
lama lagi, suaminya harus berpindah tugas ke Malang, di daerah Tumpang. Di situ
Margarethe suka bermain ke candi Jago, candi Kidal, candi Singosari. Dia
mengagumi tarian Serimpi yang ditarikan di candi-candi tersebut. Margarethe
cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan tropis yang indah. Dia suka bunga dan
anggrek liar di hutan. Namun sebaliknya Rudolph yang sering berpakaian militer
ketat, tak cocok untuk iklim tropis di Malang. Pasangan ini dikaruniai dua
anak, yang perempuan bernama Jeanne-Louise dan yang laki-laki bernama Norman.
Setelah itu tugas suaminya dipindah lagi ke Sumatra. Di Sumatra yang
masih hutan liar dan memerlukan banyak pendatang dari Jawa sebagai kuli.
Pendatang dari Jawa itu kebanyakan masih muda, bahkan ada yang masih bocah.
Mereka harus bertanam paksa, menanam tembakau dan karet. Seluruh hasilnya
dibawa ke negeri Belanda. Mengingat cara itu berhasil banyak mendatangkan uang.
Pengiriman pekerja dari Jawa makin diorganisir lebih rapi lagi. Dan mereka
harus menandatangani kontrak kerja. Tanpa ada hak menolak. Beberapa diantaranya
mencoba melarikan diri, tapi sempat dihajar oleh petugas. Karena kondisi hutan
lebat yang keras dan kesehatan mereka yang lemah, maka banyak petani dari Jawa
yang mati karena penyakit malaria, tipes dan berbagai gangguan alam lain.
Margarethe mulai tidak krasan tinggal di Sumatra. Dia rindu dengan
suasana di Jawa. Apalagi anak laki-lakinya Norman meninggal di Sumatra. Tahun
1902 pasangan ini kembali ke Belanda. Dan berakhir dengan perpisahan. Rudolph
tinggal dengan anak perempuannya. Masih tahun yang sama Margarethe pergi ke
Paris, dengan tujuan akan belajar tarian balet. Margerethe menyewa sebuah
losmen kecil dan murah. Dalam pikirannya dia ingin menjadi penari balet agar
terkenal dan cepat menjadi kaya. Ternyata tidaklah mudah di kota metropolitan
Eropa itu. Orang butuh waktu bertahun-tahun di bangku sekolah untuk bisa menari
balet agar digemari publik luas. Untuk menyambung hidupnya, terpaksa dia harus
bekerja pada sebuah sirkus sebagai penunggang kuda. Kehidupan yang getir ini
dia sadari. Tak mungkin kiranya untuk bisa meraih sukses yang lebih besar lagi.
Apalah artinya seorang pekerja di sirkus.
Secara kebetulan, di Paris kala itu sedang diadakan pameran kesenian
orientalis. Ada candi-candi Jawa di bangun darurat beserta tarian dan gamelan
serta ornamen lainnya. Dengan menumpang event tersebut. Timbul niat Margarethe
untuk menjadi penari orientalis di sebuah klab malam. Dia mencoba menari
sebisanya bergaya tarian Jawa. Apalagi dia dulu sering melihat tari Serimpi di
candi Jago, Malang. Pakaianpun dia variasi sendiri. Bahkan Margarethe sebenarnya
tidak tahu banyak kesenian Jawa, apalagi agama nenek moyang orang Jawa. Dia
nekat saja menari dan berpakaian khas ketimuran.
Tarian dia membuat gebrakan baru. Bukan saja dia pandai menari
orientalis di mata orang Paris, namun dia juga menari dengan eksotik dan
telanjang. Dalam waktu singkat namanya sudah cepat melambung. Banyak kaum elit
Paris dan Eropa lainnya terkesima dengan penampilannya. Ketika banyak media
menyorotnya. Dia mengaku kalau lahir di kota Jaffnapatam, pantai Malabar,
India. Sedang ayahnya seorang Brahmana dan ibunya seorang penari di candi.
Kebohongannya membuat publik makin yakin. Apalagi setelah nama yang sebenarnya
sebagai istri Rudolph Mcleod itu diganti dengan nama MATA HARI. Nama itu
kedengarannya sangat asing di telinga orang barat. Khas ketimurannya menonjol.
Mata Hari memang cocok dianggap orang timur. Bukan saja rambutnya yang hitam
kelam dan kulitnya yang kecoklatan. Tapi bibir dan matanya tampak bukan seperti
orang barat. Tariannya sungguh liar dan mengundang decak kagum banyak penonton.
Diperkirakan Mata Hari berasal dari keturunan orang Gipsi dari sebuah daerah
bernama Friesland di Jerman utara. Sejak abad 16 terjadi gelombang pengungsian
dari Spanyol ke negara Eropa lain. Mereka berciri seperti orang Gipsi.
Seorang yang dibuat tergila-gila pertama kali adalah Emile Guimet. Dia
pengusaha industri sabun cuci dari kota Lyon, Perancis. Sejak tahun 1885,
Guimet telah mendirikan museum yang mengkoleksi barang-barang seni orientalis
dari Cina, Jepang, Asia tenggara dan India. Museum itu dia beri nama „Museum
Guimet“ (Musée Guimet). Guimet mempersilakan museumnya untuk pentas dan
mengenalkan pada kalangan elit Paris. Dia banyak mempersiapkan acara
pementasan, dari membuat iklan, mengundang wartawan, menyediakan pakaian dan
perhiasan hingga membuat undangan yang berjumlah 600 orang elit. Reaksi di
Paris positif, seluruh Paris orang hanya membicarakan seorang wanita cantik
bernama Mata Hari. Belum ada seminggu sudah berdatangan undangan pentas.
Terutama dari kaum bangsawan dan orang-orang kaya di Paris. Salah satunya dari
sebuah kelompok elit „Soirees“. Kirejewskij, seorang bangsawan Rusia di Paris
juga ikut mendukung pementasan Madame Mata Hari. Honor yang didapat Mata Hari
saat itu berupa emas seharga 1000 Franc. Uang dan kesuksesan telah tergenggam.
Lalu dia menyewa sebuah apartemen di Rue Balzac 3. Serta dia membeli seekor
kuda, agar setiap hari bisa berjalan-jalan dengan manja. Mrs. Clarke, perempuan
asal Inggris yang berpengaruh di Paris menggambarkan:“Para raja dan kaisar menjadi
kliennya“.
Di depan rumah sewa Mata Hari banyak laki-laki antre ingin bertemu
penari berbakat yang namanya makin santer di berbagai perbincangan kaum atas.
Kepopulerannya mengundang musuh, antara lain dari Liane de Pougy, seorang ratu
yang menghina Mata Hari. Mata Hari dinilai sangat agresif, tak anggun, suaranya
terlalu keras, juga pakaiannya jelek. Terutama kalau dia sedang berjalan,
langkahnya lebar tak feminin. Jelas dia bukan menjadi kawan Liane de Pougy.
Ketidaksukaan pada Mata Hari, bukan karena dia orang asing. Sebab sebelumnya
sudah ada tiga perempuan asing yang profesinya mirip sebagai kurtisan alias
gundik. Mereka antara lain, Belle Epoque, Caroline Otero dan Lina Cavalier yang
berasal dari Spanyol, Itali dan Belgia. Sebaliknya Colette berpendat lain, Mata
Hari punya tubuh langsing dan berkulit coklat serta gerakannya sangat memukau.
Pada tahun 1905 Mata Hari telah melakukan pertunjukan sebanyak 35 kali.
Penonton yang terbanyak di Olympia-Theater, dia mendapat bayaran sejumlah
10.000 Francs. Di samping dia pentas di pertunjukan umum, juga melayani pentas
privat. Antara lain, di rumah ratu Murat, di rumah Henri de Rothschild. Mata
Hari bercita-cita punya pacar orang kaya. Dan kini cita-citanya telah tercapai.
Tak hanya orang kaya dan bangsawan yang menjadi pacarnya, tapi termasuk para
perwira tinggi. Dia hidup dengan kemewahan. Uangnya dia hamburkan untuk membeli
pakaian, topi, perhiasan, mantel berbulu binatang. Bahkan dia mempunyai sepatu
sebanyak 500 pasang. Banyak kritikus justru memberi pujian, seolah mereka tak
pernah melihat seorang penari seperti Mata Hari. Masyarakat elit digemparkan
lagi dengan berita sensasional dari Mata Hari. Kalau dia segera akan mengakhiri
kariernya sebagai penari. Karena akan kawin dengan kaisar Troubetskoi dan berdiam
di sebuah Asram di Tibet.
Kemudian Mata Hari berganti pacar lagi, kali ini dengan seorang
pengacara bernama Edouard Clunet. Dia meminta saran Clunet untuk menghubungkan
dengan sebuah agen yang profesional untuk mengurus pementasannya. Clunet lalu
menghubungkan dengan agen teater terkenal bernama Gabriel Astruc. Astruc ini
kawan dekat Marcel Proust yang pernah membuat debut pemain piano Polandia di
tahun 1903. Pada Januari 1906, pertama kali Mata Hari pentas di luar Perancis
yaitu di Madrid. Namun publik Spanyol ternyata kecewa dengan penampilannya.
Meski demikian Clunet menasehati untuk menghubungi Jules Cambon. Cambon adalah
bekas duta besar Perancis di Madrid akhirnya menjadi pacar baru Mata Hari.
Perselingkuhan terus berjalan, karier sebagai penaripun tetap dilakukan. Astruc
mempersiapkan pentas berikutnya di Monte Carlo. Tempatnya di sebuah opera balet
yang khusus diminati kaum seniman musik. Pentas di Monte Carlo ini sangat
berhasil, bahkan kesuksesannya juga terdengar sampai Paris. Banyak hadirin dibuat
kagum. Dan publik di Paris sudah rindu atas keabsenannya.
Pada Pebruari 1906 penari yang juga menyandang nama Margarethe itu
pergi ke Berlin. Dia tak butuh waktu lama untuk memperkenalkan kebolehannya ke
publik. Apalagi ada dukungan dari seorang bangsawan setempat. Untungnya
pendahulunya Isadora Duncan, penari terkenal Amerika sudah meninggalkan Berlin.
Kemudian Margarethe berkenalan dengan seorang letnan Alfred Kiepert. Kiepert
adalah anak tertua dari tuan tanah dari Wuppertal. Dia sangat bahagia bisa
berpacaran dengan wanita cantik. Tak berapa lama dia membeli sebuah rumah mewah
di Nachodstrasse. Padahal Kiepert sendiri punya anak istri yang tinggalnya di
desa tak jauh dari Berlin.
Di luar dugaan, ternyata Rudolph bekas suami Margarethe lewat pengacaranya
mengirim sebuah surat cerai. Pengacara Rudolph membawa bukti foto ke pengadilan
di Belanda. Kalau Margarethe sebagai seorang ibu menari telanjang di Paris.
Padahal Jeanne-Louise anak perempuannya baru berusia delapan tahun. Menurut
undang-undang pengadilan Belanda, sebuah skandal. Karena hanya Rudolph yang
mengurus anak, sementara ibunya sama sekali tak pernah menengoknya. Pengadilan
memutuskan, bahwa Rudolph berhak mendapatkan anak. Margarethe benar-benar
terpuruk, hatinya hancur yang kedua kali, setelah kematian Norman anaknya di
Sumatra.
Di Berlin Margarethe tinggal sampai bulan September. Kemudian dia pergi
lagi ke Wina, karena dia mendapatkan surat dari Astruc untuk pentas di ibu kota
kekaisaran Austria-Hongaria. Publik di Wina luar biasa. Media terkecoh dengan
pemberitaan asal mula Margarethe. Beberapa media menulis bervariasi, dia
berasal dari Belanda, Jawa, Bali dan India. Postur tubuhnya juga diekpos, besar
dan langsing. Kemolekannya seperti seekor binatang liar. Seorang perempuan
cantik yang mirip dewi aneh, berkulit gelap mirip gelapnya malam. Sebuah media
mewartakan, kalau Margarethe berusia 30 tahun, tapi wajahnya seperti gadis
muda. Bahkan di bulan Desember di Belanda terbit sebuah buku berjudul:“The Life
of Mata Hari, the Biography of my Daughter“. Buku itu ditulis oleh Adam Zelle,
ayah Margarethe. Margarethe tidak yakin, kalau itu tulisan ayahnya sendiri. Dia
percaya, kalau ada dua penulis mendatangi ayahnya, karena kepopulerannya.
Ayahnya diberi sejumlah uang, asalkan bersedia namanya disebut sebagai penulis
buku itu. Tak sampai di situ, foto-foto tarian bugil juga disertakan. Ditambah
dengan cerita-cerita rekaan sendiri. Margarethe naik pitam, dia menulis surat
pada seorang pengacara di Belanda, agar memperkarakan penerbit buku itu ke pengadilan.
Isi buku itu sendiri membingungkan, terutama tentang misteri Mata Hari.
Meskipun demikian, Margarethe masih bertahan di Wina dan tamu pertunjukannya
selalu penuh.
Pada Januari 1907 Margarethe mengirim surat ke Astruc. Dia kepayahan
dan ingin istirahat sejenak dengan berlibur ke Mesir. Dia ingin mencari
tambahan bekal seni orientalis lagi. Sayangnya di Mesir tak ada pacar dan
namanya tak dikenal. Sehinga niat itu dibatalkan. Lalu dia kembali dengan pacar
lamanya Kiepert di Berlin selama enam bulan. Tapi dia sebenarnya merasa lebih
senang di Paris, bisa berhubungan bebas dengan pacar-pacarnya secara
bergantian. Pergilah Margarethe ke Paris. Di Paris sudah banyak perubahan. Ada
seorang penari asal Maroko yang lebih muda bernama Sulamith Raha. Isadora
Duncan juga telah mempunyai kepopuleran di Paris yang setarap dengan Mata Hari.
Bedanya kalau Isadora mengusung mitologi dan legenda Yunani, sedang Mata Hari
banyak mengusung tarian Hindu. Para kritikus tak begitu sulit untuk merubah
penilaiannya, antara Yunani lewat India atau Jawa. Juga dimaksudkan untuk
membandingkan antara Isadora dan Mata Hari. Tak perlu waktu lama Margarethe
sudah menemukan pacar baru bernama Felix Rousseau. Seorang yang lugu tapi kaya.
Usianya mulai menginjak empat puluh dan bekerja sebagai bankir. Memang sudah
berbulan-bulan Rousseau mencari-cari Margarethe. Rousseau sebagai pelindung
yang menyediakan fasilitas pentas dan rumah di desa luar Paris. Rousseau sangat
gembira, karena idolanya sudah disampingnya. Tapi Margarethe tidak krasan dan
merasa sepi di desa. Dia ingin kembali ke Paris. Sial bagi Rousseau yang sudah
cinta dan banyak membantu terpaksa ditinggalkan.
Di Paris Margarethe sadari, kalau pakaiannya, topinya dan sepatunya
sudah ketinggalan zaman. Dia segera berkenalan dengan Sergej Diaghilew, seorang
panitia dan moderator pentas seni ternama di Paris. Kecantikan Margarethe yang
sudah berusia 35 tahun mulai diperkenalkan publik lagi. Margarethe menikmati
sanjungan bertubi-tubi dari penggemarnya. Bahkan dia hanya memikirkan kepuasan
saat itu saja, bukan masa depannya. Bagaimana nanti kalau kecantikannya sudah
hilang? Di sela-sela kesibukan menari, dia mencoba menghubungi Jeanne-Louise,
anak perempuannya lewat Rudolph. Margarethe rindu sekali bertemu anaknya,
karena sudah enam tahun tak pernah bertemu. Sementara itu Jeanne-Louise sudah
menginjak usia 13 tahun. Namun, usahanya tak berhasil, dia tak dapat surat
balasan. Justru Rudolph kawin lagi di tahun 1907 dan dikaruniai seorang anak
perempuan. Untuk mengenang anak laki-lakinya Norman yang meninggal di Sumatra.
Maka anak perempuan itu diberi nama Norma. Namun saat itu Rudolph juga sudah
akan bercerai dengan istri keduanya. Sia-sia usaha Margarethe untuk mendekat
keluarganya. Margarethe masih melanjutkan hidup mewah di Paris. Namun
bayarannya semalam 600 Francs terasa masih kurang. Dia harus membayar pembantu,
makanan kuda kesayangannya. Yang tak kalah penting juga untuk membeli
perhiasan, pakaian dan keperluan pribadi lain. Rumahnya di Rue Byron 14 sudah
makin tersiar sebagai tempat kencan.
Pada Januari 1912 Astruc mengorganisir sebuah undangan dari Bleriot.
Bahkan Maragarethe telah disiapkan pesawat pribadi ke Milano. Koran setempat
“Corriere della Sera“ mewartakan pentas Margarethe dan gerak tariannya dinilai
lambat. Sebaliknya para hadirin utamanya laki-laki memujinya. Koran Inggris
„Tatler“ edisi 24 September 1913 memuat dua foto bertajuk „Lady Macleod menari
riang seperti bulan terbit“. Foto itu menunjukkan, kalau Mata Hari memang masih
cantik. Pertunjukan Margarehte juga memakai kostum India. Seorang pemusik India
Ustad Inayat Khan yang mengiringinya dengan musik Sitar termasuk ikut mengagumi
penampilannya. Selanjutnya Margarethe menari di universitas Annale dan
mengadakan diskusi tentang seni India. Setelah itu Margarethe pentas di
Sizilia. Rumahnya di Neuilly dia jual beserta kudanya dan Paris dia tinggalkan.
Lalu dia pergi ke Berlin lagi untuk menemui pacar lamanya Alfred Kiepert.
Disamping dia juga bertemu Jules Cambon, seorang duta besar Perancis masa itu
untuk Berlin. Jules Cambon menjadi corongnya presiden Perancis Raymond Poincaré
untuk Eropa. Setelah kakaknya Paul ditugaskan sebagai duta besar di Inggris
tahun 1912.
Spion
Sudah berbulan-bulan telah beredar desas-desus ketegangan internasional
di seluruh Eropa. Perang akan terancam meletus. Jules Cambon memfasilitasi
pentas Margarethe di Berlin. Pada bulan Mei Margarethe pentas di
Metropol-Theater. Dia segera mengirim kurir ke Paris untuk mengambil pakaian
tari. Tak begitu lama Margarethe pindah di sebuah hotel mewah di Berlin.
Pentasnya di Berlin berhasil dengan gemilang. Banyak publik yang histeris,
seperti awal kariernya di Paris. Dia sering menerima undangan, sarapan pagi,
makan siang atau minum teh dengan berbagai kalangan atas. Pada awal Agustus
1914 diumumkan perang telah meletus. Orang-orang di jalan marah dan beringas.
Perang yang akibatnya hanya akan merusak kepribadian manusia. Ketika perang
berkecamuk, muncul rasa nasionalisme spontan. Pertokoan di sepanjang jalan di
Paris yang berlabel Jerman atau Austria dibakar. Tak ada lagi „Brasserie
Viennoise“ dan „Café Klein“. Polisipun kewalahan antara memihak bangsanya atau
manusia pada umumnya. Di Berlin reaksinya tak beda dengan di Paris. Bangsa
Jerman dan Perancis bersitegang dan dipertanyakan, kenapa Margarethe
mondar-mandir di Berlin? Hanya seorang penari, namun banyak punya kenalan luas
dan orang-orang penting. Akhir bulan Juli 1914 Margarethe menjalin hubungan
dengan seorang komandan polisi bernama Griebel. Margarethe sebagai gundiknya
ikut melihat demonstrasi di luar istana kaisar. Semboyan „Deutschland über
Alles“ mengumandang keras. Dalam beberapa hari saja, Margarethe kena sasaran
aksi anti orang asing. Orang-orang asing dari Perancis, Rusia dan Inggris
menjadi sasaran dan dikejar-kejar. Apakah mereka hanya singgah sebentar atau
tinggal lama di Berlin tak dipedulikan. Suasana yang mencekam itu juga
mengkhawatirkan keselamatan Margarethe. Kini dia sudah berusia 38 tahun. Untuk
kembali ke Paris langsung juga tak mungkin. Selama 15 tahun keliling Eropa
Margarethe tak memiliki surat identitas diri. Dia punya akal ke Paris lewat
Zürich, Switzerland. Namun pada 7 Agustus dia sudah berada di Berlin lagi.
Bukan saja dia tanpa kawan di Berlin, tapi juga tanpa pakaian. Raja Albert dari
Belgia meminta bantuan Inggris untuk melindungi negerinya, karena pasukan
Jerman segera akan datang. Beberapa hari kemudian tiga juta tentara Perancis,
Belgia, Inggris dan Jerman telah siap perang. Medan peperangan terletak di
Lüttich di perbatasan utara antara Jerman-Perancis dan sampai ke Mülhause dekat
perbatasan Switzerland. Saat Margarethe tak punya surat identitas, surat jalan
dan uang untuk membeli tiket kereta api. Bahkan sudah sudah seminggu pakaiannya
tak diganti. Dia masih beruntung ada orang Belanda tua yang baik hati dan
membelikan tiket kereta api untuk keluar dari Berlin menuju Belanda. Pada 14
Agustus dia meninggalkan Berlin dan berhenti di Frankfurt meminta dokumen
perjalanan konsul Belanda. Tanggal 16 Agustus dia tiba di Amsterdam. Sejarawan
Belanda Army Vandenbosch memprediksikan, kalau Belanda terkepung perang sangat
bahaya, sebab mempengaruhi monopoli dagangnya di tempat koloninya. Untuk itu
Belanda memposisikan diri sebagai negara netral.
Pada 14 Desember 1914 untuk pertama kalinya Margarethe manggung di
publik Belanda. Gedung teater di Den Haag penuh sesak pengunjung. Semua orang
ingin melihat penampilan Mata Hari yang sudah tersohor itu. Setelah habis
pertunjukan para penonton kembali ke rumah dengan disilusi masing-masing. Pada
18 Desember diadakan pentas yang kedua kali. Tempatnya nekad di Arnheim, tempat
Rudolph tinggal. Rudolph sempat mendapatkan undangan, namun menolak hadir.
Alasannya dia sudah cukup kenal sosok tubuh mantan istrinya. Tak begitu lama
Margarethe menemukan pasangan barunya, Baron Edouard van der Capellen. Baron
Edouard tak hanya kaya, tapi juga pimpinan kavaleri. Dia berusia 52 tahun,
tujuh tahun lebih muda dari Rudolph. Dalam tempo sebulan dari perjumpaannya
Margarethe dibuatkan sebuah rumah mungil nan indah oleh Baron di Den Haag.
Tabiat Baron ini labil dan sering menganggap Margarethe bagaikan prostitusi.
Pada 13 Maret 1915 Margarethe membaca koran Belanda yang memuat fotonya
dengan judul „Madame Mata Hari“. Dia sedih meratapi masa jayanya yang sudah
lewat, sementara di rumah pemberian Baron seperti terkekang. Perang terus
berkecamuk pasukan Jerman sudah menyeberangi Arras, Cambrai dan Reims. Semua
pertunjukkan teater atau musik privat di Paris ditutup. Kelompok borjuis
ketakutan, dikhawatirkan kalau revolusi kelas buruh akan ambil bagian. Pada
Nopember Louis-Jean Malvy, menteri dalam negeri Perancis membuka kembali
pertunjukan teater. Selama perang di Belanda sendiri telah jatuh korban
sebanyak 40.000, tepatnya di daerah perbatasan. Meskipun negeri kincir angin
itu mengikrarkan sebagai negara netral, namun tetap saja harus ada tentara yang
dipersenjatai khususnya di perbatasan. Pada Agustus 1915 Margarethe berulang
tahun yang ke 39 tahun. Kehidupan sehari-hari Margarethe terasa sepi, karena
Baron sering bertugas berbulan-bulan tak pulang. Margarethe mencoba kabur dan
akan kembali ke Paris lagi. Jalan yang dia tempuh harus berkeliling dari
Amsterdam menuju pelabuhan Inggris, selat Biskaya ke Vigo, Spanyol utara. Dari
sini dia naik kereta api ke perbatasan Perancis-Spanyol di Irun dan ke jurusan
Paris. Sudah dua tahun Margarethe absen di Paris. Banyak sudah perubahan,
terutama gentingnya suasana perang. Leon Daudet, seorang sastrawan dan wartawan
Perancis menggagas berdirinya sebuah agen bernama „Liga“ yang bertugas
memeriksa semua kegiatan musuh Perancis. M.Millerand, menteri yang mengurus
perang mendukung kegiatan Liga dan mengungkapkan bahaya yang ditakuti adalah
jaringan spionase. Sebab itu kedatangan Margarethe di Paris Desember 1915
menjadi sorotan agen Liga. Margarethe mengenakan pakaian mahal dan berlagak
sombong. Apalagi dia merasa pernah menjadi bintang di Paris. Namun ketika surat
Margarethe diperiksa Liga, tertulis kelahiran Belgia. Sejak kedatangannya,
surat jalan dia dicap oleh Liga „diwaspadai“. Tak hanya di situ, sebuah kantor
di London mendeklarasikan sebuah dokumen rahasia pada 9 Desember 1915 berbunyi:
ZELLE, Margarethe Gertruida
Orang tersebut di atas sebagai warga Belanda yang bepergian pada 3
Desember 1915 dari Folkestone ke Perancis. Di Inggris dia menginap di Hotel
Savoy. Dia adalah gundiknya Kolonel resimen Baron E. van der Capellen.
Ciri-Ciri:
Tinggi 1,65 Meter, tubuh sedang, rambut hitam, wajah oval, dahi agak
rendah, mata coklat kehijauan, hidung datar, mulut kecil, gigi rapi, dagu
cekung, tangan bersih, kaki kecil, usia 39 tahun. Berbahasa Perancis, Inggris,
Itali, Belanda dan mungkin Jerman. Cantik, tipe perempuan pemberani. Pakaian
anggun dan indah, memakai pakaian warna coklat dengan sulaman bulu beruang yang
serasi dengan topinya.
Sementara itu dilaporkan di Inggris telah ditahan sebanyak 22 spion
Jerman. Oleh karena itu setiap orang asing di Inggris dicurigai. Margarethe
kali ini di Paris sungguh pusing, dia tak mengenal lagi jalan-jalan lama. Belum
pernah selama ini Margarethe melihat banyak orang laki-laki berseragam. Dari
kamar suite Grand Hotel Margarethe mengirim surat sahabat lamanya Gabriel
Astruc. Bahwa Diaghilew di Paris sedang mencari penari untuk sebuah tournee di
Amerika. Margarethe siap kalau diminta ke Amerika. Sambil menunggu jawaban
surat, dia sering mendatangi pertunjukan teater. Dia merasa kehidupan teater di
Paris sudah tak seperti dulu. Meskipun dia masih optimis untuk mencoba yang
terakhir kalinya untuk „come back“. Gerak-gerik Margarethe sudah mulai
dimata-matai agen Liga. Margarethe mulai menjalin kontak dengan orang Rumania
yang paling dicurigai bernama Koanda. Koanda terdakwa sebagai penjahat dan
penipu. Pada 11 Januari kantor Deuxième melaporkan, bahwa Madame MacLeod telah
meninggalkan Paris lewat Spanyol dan kembali menemui Baron di Den Haag.
Masa-masa ini dua negara super power Amerika dan Soviet Union saling
perang jaringan spion. Hanya saja spion Soviet lebih menitik beratkan pada
revolusi Boljewik. Markas besar Jerman untuk urusan perang ada di Berlin. Di
sini agen spion direkrut dan dikontrol. Beberapa spion berasal dari
Switzerland, Belanda dan Spanyol. Di negara-negara netral ini kedutaan Jerman
berfungsi strategis untuk bergerak di bawah tanah. Karl Kramer adalah sebagai
anggota lama dari urusan berita perang untuk Jerman yang dipimpin oleh kolonel
Nicolais. Kramer ditugaskan sebagai duta besar Jerman di Den Haag. Pada 16 Mei
1916 Margarethe diperkenalkan pada Kramer di sebuah jamuan malam. Kramer
menilai Margarethe akan bisa cepat bergerak untuk bekerja sebagai spion untuk
pemerintah Jerman. Lagi-lagi Baron bertugas keluar lama dan sepertinya
Margarethe dilupakan. Kalau sudah begitu, Margarethe maunya kembali ke Paris.
Menurutnya di Paris suasananya tak segempar di Belanda. Jerman memanfaatkan
Belanda sebagai batas gencatan senjata. Tapi juga menghormati Belanda sebagai
negara netral. Ratu Wilhelmina mengingatkan:
„Netralitas artinya harus dipahami sesuai hak internasional. Yang tidak
mengabaikan begitu saja. Netralitas sebagai sebuah status yang berdasar hukum
yang tegas. Negara yang netral harus dihormati hak-haknya“.
Bangsa Belanda memahami arti netralitas yang dimaksud bukan untuk
mengekang ruang geraknya. Namun mereka masih bisa bebas mengutarakan
perasaannya. Pada suatu kesempatan Margarethe mengungkapkan:
Suatu malam bulan Mei 1916 aku di Den Haag. Di tengah malam itu
pembantuku Anna Lintjens sudah akan tidur. Tiba-tiba ada seseorang mengetuk
pintu. Dan aku sendiri yang membukakan. Ternyata dia Karl Kramer. Kramer
memberitahu tentang hubungannya dengan Perancis. Dan dia tanya aku, apakah
kiranya aku bisa sedikit berbuat yang bisa membuat senang bangsa Jerman?
Margarethe menirukan tawaran Kramer:
„Kalau kamu bisa bantu, aku gembira dan aku sediakan bayaran sebanyak
20.000 Franc.“
Mendengar tawaran uang, Margarethe terpikat. Namun dia masih butuh
beberapa hari lagi untuk mempertimbangkan. Bagi Margarethe tidaklah teramat
sulit, karena dia sudah terbiasa berbuat naif dan menjalani liku-liku dengan
berbagai kalangan elit. Margarethe juga mengajukan usulan, seandainya dirinya
bisa berbuat lebih, bisakah ditambah bayarannya? Dan Kramer menyetujui. Kramer
membujuk dan memuji Margarethe yang punya reputasi internasional itu.
Margarethe mulai hatinya berbunga-bunga membayangkan pakaian mahalnya dulu yang
terbuat dari kulit binatang. Membayangkan tentang pentas di gedung teater di
Berlin. Akhirnya dia menulis surat jawaban ke Kramer, kalau dirinya sanggup
menerima tawaran. Betapa senang Kramer, dia cepat-cepat mendatangi rumah
Margarethe sambil membawa uang kontan 20.000 Franc. Kramer juga membawa
peralatan tulis rahasia berupa tiga botol tinta. Dua botol diantaranya berupa
tinta tanpa warna. Sedang sebuah botol berisi tinta berwarna biru kehijauan.
Cairan di botol pertama berfungsi untuk melembabkan kertas. Cairan botol kedua
untuk menulis berita dan cairan di botol ketiga untuk menghapus. Margarethe
tampak heran dengan peralatan rahasia itu. Tapi dia mempercayai Kramer. Tak
hanya di situ persiapan sebagai agen mata-mata. Namun ada sandi khusus yang
harus dipakai Margarethe yaitu sandi nomor: H21. Sandi nomor itu harus ditulis
sebagai tanda tangan. Mungkin saja karena banyaknya spion bekerja untuk Jerman.
Dan semua berita harus dikirim ke alamat Hotel de l`Europe di Amsterdam. Kramer
sendiri tak perlu merubah dengan nama samaran. Diperkirakan nama Kramer sudah
umum dan sudah lazim digunakan di Belanda. Seperti nama Smith di Inggris atau
Durand di Perancis. Teknologi di zaman perang ini juga ikut berperan. Penemuan
telegram oleh Marconi baru berumur 20 tahun. Telepon juga pegang peranan dan
terbaru zaman itu adalah model sandi rahasia dengan Krytograph. Kramer tidak
bermaksud untuk membekali Margarethe lebih rumit lagi. Cukuplah dengan tiga
botol tinta saja. Pergi ke Paris, lalu mengirim berita-berita yang penting. Dia
umpamakan Margarethe seperti pelayan restoran, pemilik toko atau tukang pel
yang kerjanya menyadap informasi. Namun Margarethe menganggap berlebihan,
dirinya sebagai spion yang bisa banyak berperan dalam perang dunia. Apalagi
kariernya sebelumnya sebagai penari orientalis yang biasa menutupi misterinya.
Tapi Margarethe tak tahu apa-apa tentang tugas yang akan dilakukan. Memang
antara dunia spionase dan s3ks sangat erat. Orang-orang yang penting posisinya
dan intelek sekalipun. Mereka tetap akan bertekuk lutut di atas ranjang.
Ketika Baron kembali ke Den Haag untuk menengok resimennya mendapati
Margarethe akan berangkat ke Paris. Margarethe dibuatkan paspor baru lagi pada
16 Mei 1916. Rencananya ke Paris lewat Inggris, namun permohonan visanya untuk
Inggris telah ditolak. Karena ada telegram masuk ke konsul Inggris di Rotterdam
yang menyebutkan tujuan Margarethe ke Paris, tempat perang berlangsung. Pada 24
Mei berangkatlah Margarethe ke Paris lewat jalur laut dengan menumpang kapal „Zeelandia“.
Di kanal Ärmel ada agen Perancis untuk Inggris bernama Henry Hoedemaker. Dia
bertugas mengawasi orang-orang yang bepergian ke atau dari Belanda. Di dalam
kapal, Hoedemaker mengumbar cerita, kalau ia telah memeriksa kamar kabin
Margarethe. Hal itu membuat Margaerthe berang. Setelah kapal berlabuh di Vigo,
Spanyol utara. Margarethe turun sambil masih mengumpat sikap Hoedemaker.
Seorang penumpang Amerika menasehati, agar Margarethe melupakannya. Sebab bisa
berbahaya nanti berurusan dengan aparat setempat. Benar, Hoedemaker membalas
dendam dan mempersulit perjalanan Margarethe di polisi perbatasan. Margarethe
terhalang tak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Paris. Lalu Margarethe
mengirim surat pada mantan pacarnya Jules Cambon yang pada 15 Oktober 1915
sudah kembali ke Paris dari tugasnya di Berlin. Cambon diangkat sebagai
sekretaris jenderal kementerian luar negeri Perancis di Quai d`Orsay. Sebuah
pos yang amat penting pada era perang. Margarethe minta bantuan Cambon, agar
dia bisa pergi ke Paris. Dia menunggu beberapa saat dan setelah dapat surat
balasan dari Cambon, surat itu ditunjukkan di muka polisi. Hoedemaker
sebenarnya sudah mengira, kalau Margarethe tak tahu apa-apa dalam tugasnya.
Di Paris petualangan cinta Margarethe dimulai lagi. Kali ini dengan
seorang perwira muda Rusia bernama Vadime de Masloff. Pada suatu malam ulang
tahun Margarethe yang ke 40 itu, pemuda Vadime bercinta di kamar Grand Hotel.
Vadime usianya 20 tahun lebih muda dari Margarethe. Bahkan Margarethe berujar,
selama hidupnya dia hanya bercinta dengan para perwira. Dia bilang, lebih enak
bercinta dengan perwira dari pada dengan bankir kaya. Pemuda ini memang yang
ditaksir Margarethe dan benar-benar dicintai. Vadime sendiri di Paris dalam
rangka liburan dari resimen khusus kekaisaran Rusia. Suatu hari sebuah musibah
menimpa pada Vadime. Sebuah granat meledak dan melukai wajah serta leher Vadime
dan terkena asap gas beracun. Dia harus dirawat di rumah sakit tentara.
Margarethe cemas dan bermaksud ingin mengunjungi Vadime di rumah sakit. Namun
diperlukan surat khusus dari sebuah kantor kementerian perang di Boulevard
St.Germain. Tak tahunya di kantor itu juga dipakai sebagai kantor agen spion
Perancis. Di sebuah tangga gedung itu, secara kebetulan Margarethe berpapasan
dengan kapten George Ladoux. Ladoux dengan hati-hati memberikan izin Margarethe
menengok pacarnya di rumah sakit. Beberapa saat kemudian, Margarethe sedih
mendapatkan kartu pos dari Vadime. Kartu pos itu menyebutkan, kalau vadime
diminta pulang ke Rusia oleh Marina, pacarnya. Padahal Margarethe sungguh
mencintai Vadime.
Hubungan antara Margarethe dan Ladoux makin dekat. Makin diketahui,
kalau Ladoux sebenarnya ketua spion Perancis. Margarethe ditawari, untuk
bekerja sebagai spion untuk Perancis. Ladoux menanyakan berapa gaji yang
diminta? Bayangan Margarethe melambung tinggi, utamanya mencita-citakan hidup
di masa depan dengan pacar terbarunya Vadime.
“Satu Juta Franc“,
jawab Margarethe.
Ladoux mempertimbangkannya, karena gaji sejumlah itu sama dengan gaji
untuk 12 spion paling handal. Namun Ladoux mencurigai, kalau Margarethe
sebenarnya adalah spion untuk Jerman. Mendengar permintaan gaji yang kurang
ditanggapi Ladoux, maka Margarethe mencoba meyakinkan lagi. Kalau dirinya juga
kenal orang penting di Jerman bernama Kramer. Telinga Ladoux hampir pecah
mendengar nama Kramer. Karena memang dia orang penting Jerman. Dari sini Ladoux
makin yakin, kalau Margarethe benar-benar spion Jerman. Dan Margarethe mencoba
akan menjadi double agen. Ladoux tidak mau mengambil resiko lebih jauh. Dia tak
menyanggupi membayar satu juta Franc. Dia juga tak membekali peralatan kerja
layaknya spion. Dia hanya membiarkan Margarethe bergerak, sampai menunjukkan
bukti yang kongkrit. Hanya sebuah janji yang diberikan Ladoux, bahwa setiap berita
rahasia akan mendapat imbalan sebanyak 25.000 Franc. Tapi Ladoux penasaran,
mengapa Margarethe mau mengambil resiko berat itu? Margarethe menjawab, kalau
dia perlu uang banyak untuk hidup bersama Vadime.
Atas perintah Ladoux Margarethe dipersilakan kembali ke Belanda,
sekiranya bisa mendapatkan berita penting. Namun dia harus mengurus berbagai
rencana kemungkinan mencari apartemen baru di Paris untuk bisa tinggal bersama
Vadime nanti. Karena Margarethe perlu uang untuk perjalanan dan urusan lain.
Maka dia mengirim telegram ke Anna Lintjen, pembantunya di Den Haag. Isi
telegram tersebut, agar segera dikirim uang sejumlah 5000 Franc yang berasal
dari Baron. Tapi kantor Deuxième Bureau di Paris mengkontrol telegram dan mulai
curiga. Dikiranya nama Anna Lintjen adalah nama samaran dari Kramer. Pada 4
Nopember transfer uang tiba dan Margarethe meninggalkan Paris menuju Belanda
lewat Spanyol. Ladoux sebenarnya hanya ingin bukti saja, kalau Margarethe
benar-benar spion Jerman. Untuk itu dia perlu diarahkan lewat Spanyol dulu.
Sebab spion Perancis di Spanyol cukup cerdik. Margarethe menumpang kapal „SS
Hollandia“ ke Belanda. Di dalam kapal ada pemeriksaan ketat pada setiap
penumpang. Sebab ada informasi di agen Inggris, kalau seorang spion wanita
bernama Clara Benedix ada dalam kapal itu. Pada 13 Nopember 1916 Margarethe
mendarat di Scotland Yard.dia langsung didakwa sebagai spion bernama Clara
Benedix. Margarethe langsung berhadapan dengan komandan spion Inggris Sir Basil
Thomson. Luar biasa, dalam waktu tak ada lima bulan, Margarethe sudah mengenal
tiga pimpinan agen rahasia. Di Jerman dengan Kramer, di Perancis dengan Ladoux
dan di Inggris dengan Thomson. Margarethe dimasukkan sel di Scotland Yard.
Rupanya agak sial bagi Margarethe, Thomson mencecar berbagai pertanyaan, dan
sampai pada masalah uang sebesar 20.000 Franc. Thomson mempertanyakan asal uang
itu, apakah ada yang membiayai perjalanannya dari Belanda-Paris-Belanda?
Margarethe mengaku mengambil dari rekeningnya sendiri di Londres bank. Kedok
mulai terbuka, karena Londres bank adalah bank milik kedutaan Jerman. Lalu
Margarethe protes keras dan menulis surat pada kedutaan Belanda di London. Yang
isinya meminta bantuan agar dirinya bisa dipermudah kembali ke Den Haag. Tapi
Thomson tak langsung mengirim surat itu, karena dia tidak ingin Margarethe
cepat pergi. Bukankah dia termasuk warga Belanda yang status politiknya netral
dalam perang. Ketika Thomson menunjukkan sebuah foto, Margarethe mengaku kalau
itu foto dirinya yang dipotret oleh M.Rudeauk. Thomson mulai yakin, kalau
Margarethe bukan spion bernama Clara Benedix. Untuk lebih meyakinkan lagi,
Margarethe membuka rahasia penting pada Thomson. Kalau dirinya ditugaskan
kapten Ladoux di Paris. Mendengar pernyataan tersebut, Thomas bilang:
„Mengapa tidak sejak kemarin bilang.“
Hampir satu jam Thomson menanyakan sekitar sosok Ladoux. Di mana
Margarethe pertama bertemu dia. Bagaimana wajahnya serta apakah bicaranya
terlalu pelan atau keras. Dia juga ingin tahu keinginan Ladoux. Apakah Ladoux
menugasi sesuatu. Margarethe menegaskan, kalau dirinya bisa membuat Ladoux
puas, dia akan menerima imbalan satu juta Franc. Akhirnya Margarethe dilepas
dari sel dan dia minta untuk diantar ke hotel Savoy. Malam berikutnya Thomson
mengirim telegram ke Ladoux untuk minta konfirmasi apakah Margarethe alias Mata
Hari sebagai spionnya? Keburu ada telegram masuk dari Spanyol, kalau terjadi
kesalahan informasi. Kalau spion yang dicurigai bernama Clara Benedix
sebenarnya masih berada di Madrid. Dan jawaban telegram dari Ladoux tak kunjung
tiba. Hal ini menjadikan Thomson ragu, apakah benar Margarethe itu ditugaskan
Ladoux. Sebab kalau memang dia spion profesional, tentu segala masalah akan
diurus oleh agen yang bersangkutan. Awal Desember Margarethe dikirim kembali ke
Madrid, tempat dia pertama kali berangkat.
Di Madrid berkumpul para spion. Salah satunya bernama Marthe Richer.
Dia spion berwarga negara Swiss dan bekerja untuk Ladoux di Perancis. Richer
juga sebagai gundiknya Hans von Kalle, seorang pejabat pada atase
militer/angkatan laut kedutaan Jerman di Madrid. Ketika Margarethe tiba di
Madrid, Richer dalam bahaya besar. Dia sebagai spion Perancis dengan nama
l`Alouette, dengan sandi S 32. Di sini Ladoux tampak serius mengurus anak
buahnya yang terkena perkara. Dengan meyakinkan pemerintah Jerman. Tak seperti
dia memperlakukan dengan Margarethe. Suatu saat Margarethe berhasil bertemu
dengan Kalle. Seperti biasa Margarethe mengenakan pakaian yang bisa menyihir
kaum lelaki terpesona. Dalam pertemuan itu Margarethe bercerita tentang situasi
perang di Berlin serta menyusun kalimat indah-indah yang berbau rayuan. Bahkan
dia sebutkan, kalau dia bersahabat erat dengan Alfred Kiepert di Berlin. Kalle
menjadi riang, karena dia kawan lama Kiepert. Bahkan Kalle meyakinkan, kalau
dirinya sempat bertemu Margarethe di Berlin. Oleh karena itu Kalle minta maaf,
kalau dirinya tak cepat mengenali Margarethe. Kesempatan itu Margarethe
bercerita, kenapa dirinya sampai terdampar di Madrid. Karena dipulangkan dari
Inggris, dituduh spion dari Jerman. Dalam obrolan tersebut tanpa kontrol Kalle
bercerita, kalau ada kapal selam dari perwira Jerman dan Turki sedang mendarat
di perairan Maroko. Usai pertemuan, Margarethe kembali ke hotel dan segera
mengirim berita ke Ladoux di Paris. Untuk membuktikan kerjanya telah berhasil.
Para diplomat asing dan tamu kehormatan mulai melirik kehadiran Margarethe yang
masih tampak atraktif dan cantik. Duta besar Belanda bernama Cornelius de With
mengadakan kencan dengan Margarethe di sebuah hotel. De With tidak datang
sendirian, melainkan ditemani dua orang lagi. Dua orang tersebut bernama Baron
de Claesens dari kedutaan Belanda dan kolonel Denvignes dari atase militer
Perancis. De With dan von Claesens ini masih muda dan simpati. Oleh sebab itu
Margarethe lebih tertarik pada kedua anak muda itu. Suatu malam tiba-tiba
kolonel Denvignes sudah muncul di hotel. Dia ingin sekali bisa bertemu
Margarethe. Sebaliknya Margarethe tak menyukai. Tapi kolonel Denvignes terus
mengejar pertanyaan tentang berita rahasia kapal selam itu. Dia ingin tahu,
berapa jumlah perwira, apa saja yang diangkut kapal selam itu, apakah termasuk
senjata. Dia membujuk Margarethe agar terus mengejar informasi dari Kalle. Tapi
sikap Margarethe sinis. Biasanya Margarethe menggunakan senjata tubuhnya untuk
mendekati calon korban. Kali ini justru dia menggunakan alat diplomasi untuk
menghindari kolonel Denvignes.
Sigit Susanto dikenal sebagai salah satu moderator Apresiasi Sastra (APSAS) dan pioner Festival Puisi Danau yang mula-mula diadakan di tepi danau Zug sebelum akhirnya menyebar ke sejumlah danau di Indonesia. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 21 Juni 1963. Sigit lulus AKABA 17 – UNTAG Semarang pada tahun 1988. Karyanya yang telah terbit: Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian: Novel (2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-2 (2008), dan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Sebuah catatan Perjalanan jilid-3 (2012). Selain itu, dia juga menerjemahkan tiga buku Kafka dari bahasa Jerman: Proses - Kafka, Surat untuk Ayah – Kafka, Metamorfosis - Kafka, serta buku Kesetrum Cinta, semacam culture shock dalam kesaksian pengembaraannya. Sejak April 1996 Sigit menetap di Swiss, dan kerap mengembara ke berbagai negara di dunia.