Mematahkan Pepatah - Arinhi Nursecha
Mematahkan Pepatah
Oleh Arinhi Nursecha
Oleh Arinhi Nursecha
Pepatah
bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk
memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu
agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur
jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk
dirusak setitik nila ….
Wanita
itu berhenti bergumam. Aku tahu ia sedang membaca Filosofi Kopi karya Dee dari
sampul yang terlihat di antara jemari keriputnya. Entah sudah sampai di halaman
ke berapa. Sudah dua hari ini aku menemani aktivitasnya tiap sore jelang senja.
Duduk di kursi tepi danau lalu asyik membaca buku dari balik kaca mata bulat
tebal. Kadang ia menyempatkan membeli teka-teki silang yang dijual pedagang kaki
lima sekitar danau, untuk kemudian kembali lagi ke kursi ini dan mengisinya.
Jika sedang berbaik hati, ia juga kerap membelikan es krim untuk anak-anak yang
merajuk pada orangtua mereka. Atau seperti ini, menggumamkan kutipan cerita
yang dibacanya padaku.
“Dan dibutuhkan sebutir buah untuk
tahu seberapa jauh ia jatuh dari pohonnya. Iya kan, Lo?” lanjutnya lemah.
Seandainya bisa, tentu aku sudah
mengangguk mengamini. Beruntung saat itu angin berembus pelan. Anggaplah
sebagai jawaban. Namanya Vivi. Abaikan soal nama lengkap. Dan ia senang memanggilku
Lolo. Jangan tanya pula mengapa ia memanggilku begitu. Usianya mungkin sudah
masuk kategori sepuh tapi aku angkat topi pada minat bacanya yang mengagumkan.
Vivi senang tenggelam dalam buku. Rumahnya lebih mirip perpustakaan dengan
ribuan koleksi buku. Aku tak tahu banyak tentang Vivi selain gambaran seorang
wanita renta patetik yang suka menghabiskan sepanjang sore di sini. Kecuali
hari ini, Vivi sedikit berbeda. Ia jadi
banyak bicara.
“Tapi kenapa harus ada pepatah
begitu? Apa sebatang pohon tak boleh berharap buah yang dihasilkan kelak jauh
lebih baik dari induknya? Kenapa, Lo?” Vivi
menuntut jawaban yang meski kusahut dengan lengkingan oktaf tertinggi sekalipun
takkan pernah bisa didengar. Oh, apa aku
yang salah? “Jangan bermonolog terus, Lo. Kenapa? Heran? Iya, aku bisa
mendengar suara alam, termasuk suaramu yang dari tadi sibuk menggunjingku.”
Astaga! Apa mungkin Vivi juga indigo? Dugaan itu
membuatku terperangah dan bergidik. Seandainya, lagi-lagi seandainya berasal dari
bangsa yang sama seperti Vivi, mungkin aku sudah membekap rapat mulut yang
melebar membentuk huruf O. Vivi ternyata bukan seorang nenek biasa seperti pada
umumnya. Ia mulai menceritakan segala
manis getir hidupnya hingga bisa terdampar di sini.
Vivi terlahir sebagai bungsu dari tiga bersaudara
sebuah keluarga kaya raya. Sepanjang hari orangtuanya sibuk bekerja hingga
menelantarkan anak-anak mereka. Apapun diberikan demi para buah hati, tapi
waktu adalah permintaan yang mahal. Saat remaja ia berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan orangtuanya. Vivi ingin malaikat kecil yang lahir dari
rahimnya nanti dapat merasakan kehangatan sebuah keluarga. Saat bertemu Danu,
ia merasa lelaki itu adalah pilihan yang tepat untuk mewujudkan mimpi. Ia
melahirkan Tio, seorang putra semata wayang dari hasil perkawinannya dengan
Danu. Namun ia harus memejamkan mata dari dongeng semu, merentangkan tangan
lebar-lebar untuk mengucap selamat datang pada dunia nyata. Penghasilan Danu
yang pas-pasan memaksa Vivi untuk membantu perekonomian mereka. Inilah hidup
sesungguhnya. Orang-orang biasanya menjuluki wanita seperti dia sebagai working mom. Label yang terdengar keren.
Bertahun-tahun Vivi menitipkan Tio pada ibunya. Hingga
tanpa terasa Tio terus tumbuh menjadi pria dewasa. Tio menganggap status Vivi sebagai ibunya hanya sekadar tempelan di
kartu keluarga. Ketika ibu Vivi wafat, Tio begitu terpukul. Ikatan batin antara
Tio dan neneknya terlalu kuat. Ingin sekali Vivi mengatakan jika seharusnya
dialah yang terpuruk. Ia berandai-andai jika kelak maut menyapanya, mungkinkah
Tio akan merasakan kehilangan yang sama. Tiga tahun berikutnya, giliran Danu
menyusul ke haribaan Ilahi setelah sebuah kecelakaan beruntun menimpanya.
Tinggallah Vivi seorang diri. Sementara Tio sibuk merantau dan bekerja di
Surabaya. Pemuda itu hanya pulang beberapa tahun sekali. Itu pun jika mendengar
kabar Vivi sakit. Melihat perlakuan Tio, Vivi seakan melihat dirinya dari balik
cermin ketika dulu kerap mengabaikan ibunya. Waktu terus bergulir, tetapi sesal
tak pernah berakhir.
“Aku kesal pada Rasya, Vi. Pada ibu mertuaku, juga
pada Arka. Coba saja kaubayangkan jika ada di posisiku. Saat keluarga besar ibu
mertuaku datang dari kampungnya di Solo, kusempatkan diri memasak seporsi besar
nasi goreng. Kubuatkan nasi goreng itu dengan penuh cinta, karena sebentar lagi
aku akan bersama dengan Arka setelah enam tahun kutitipkan di Solo. Tapi
jangankan disentuh itu nasgor, dilihat saja tidak. Malah masakanku dicela di
depan semua anggota keluarga yang ada. Rasanya saat itu aku ingin menghilang
karena malu. Macam aku ini tak becus masak saja. Lain ladang lain belalang kan,
Vi? Seharusnya beliau bisa sedikit saja menghargai kehidupan atau budaya di
sini. Sama seperti saat aku pulang ke sana. Aku geram karena sebagai tuan
rumah, aku justru diperlakukan seperti tamu di rumahku sendiri. Ketika aku
diam, eh ibu mertuaku salah paham dan mengadu pada Rasya. Marahlah Rasya
padaku. Pecahlah perang dunia ketiga malam itu. Dan kabar buruknya, Arka
ikut-ikutan menangis ketakutan seolah aku ini monster.” Aku menggerutu tak
terkendali.
“Sudah selesai? Bukankah kau pernah bilang ibumu
menentang pernikahanmu karena Rasya saat itu belum mapan? Sejak itu kau dan
ibumu menjadi dua kutub magnet yang berlawanan? Saat kau hamil, Rasya membawamu
ke kampung dan mertuamu yang merawatmu. Demikian juga ketika Arka lahir. Mereka
yang mengurusnya penuh kasih sayang, bukan?” Vivi terus mencecarku dengan
pertanyaan menyebalkan yang mau tak mau harus kuiyakan.
“Hanya karena mereka yang mengurusnya, bukan berarti
mereka punya hak sepenuhnya atas Arka, Vi. Biar bagaimana pun aku ini ibunya.
Kau tak tahu betapa bebalnya Arka. Manja, keras kepala, dan sangat sukar
dinasihati. Jika aku menegurnya, dia langsung termehek-mehek seperti sedang
disiksa. Aku memang bukan ibu berhati malaikat. Tapi sebuas-buasnya singa, tak
akan menerkam anak sendiri. Kalau Rasya dan mertuaku melihat, sekonyong-konyong
mereka akan membelanya.”
Vivi terdiam. Kulihat bulir bening mulai membasahi
sudut matanya. Kau tahu, nenek tua ini kadang juga bisa jadi drama queen. Tapi sepertinya kali ini
tidak. Vivi terlihat benar-benar terluka. Lalu menguaplah semua kepedihan yang
selama ini ditanggungnya sendiri. Hingga detik ini Tio tak pernah lagi
mengunjunginya. Anak macam apa itu?
“Jangan ulangi kesalahanku. Sebagai anak dan menantu,
sudah sepatutnya kau patuh pada orangtua maupun mertuamu. Pahamilah, saat usia
seperti kami kian menua, kadang seseorang akan kembali bersikap
kekanak-kanakkan. Itulah yang terjadi pada ibu mertuamu. Kau hanya perlu
mengendalikan diri. Bersabarlah, toh
ibu mertuamu hanya menginap beberapa hari saja, bukan untuk menetap di rumahmu
kan? Hubunganmu dan ibumu juga sempat memburuk. Jangan sampai hal yang sama
terjadi padamu dan Arka. Semua belum terlambat, Lo. Soal Arka, memang sulit
merekatkan kembali ikatan batin yang terputus selama kautinggalkan dia demi
pekerjaan. Dekati Arka, dengarkan keluh kesahnya, singkirkan gadget atau hal apapun yang
menyibukkanmu saat dia bercerita. Aku percaya kau bisa merebut lagi hatinya.
Sekarang pulanglah, sudah dua hari kau kabur dari rumah. Minta maaflah pada
Rasya dan Arka. Patahkanlah pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kau bisa
membuat Arka lebih baik darimu.”
Aku begitu marah hingga meninggalkan rumah di Bekasi. Hanya
kubawa pakaian yang melekat di badan dan uang tak seberapa, menumpang bus
Mayasari tujuan Senen. Saat berjalan tak tentu arah, beruntung aku bertemu
dengan Vivi di tepi sebuah danau sekitar Matraman. Ia wanita tua yang ramah,
cerdas, dan hangat. Selama dua hari ini ia menampung dan mengajakku menemani
aktivitasnya. Mendengar nasihat Vivi tadi seolah aku terhisap lorong waktu yang
membawaku ke masa lalu. Semua kenangan yang dikatakan Vivi berkelebat dalam
benak. Baiklah, aku akan pulang. Aku tak mau berakhir menjadi wanita tua
menyedihkan seperti Vivi. Hanya mengisi teka-teki silang, menggumamkan cerita
dalam buku, atau membelikan es krim untuk anak-anak sekadar menumpas kesepian. Aku
tak mau Arka membenciku seperti aku memusuhi Mama, atau seperti Tio menjauhi
Vivi. Aku akan berkumpul bersama suami, juga anak-anakku yang cerdas dan
membanggakan. Akan kupatahkan pepatah sialan itu. Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya. Tapi tidak, kupastikan Arka berhak memiliki kehidupan yang lebih baik
dariku. Lekas kupeluk Vivi dan bergegas pulang.
Arinhi
Nursecha, 29 tahun. IRT sekaligus pegiat literasi. Beralamat di Cikarang Utara,
Bekasi. No. rekening 1370-856-7130 Bank Hana a/n Suyitno (suami). Penulis dapat
dihubungi dengan akun Rin Ismi (FB), @ismi_rin (IG), @ABarcalova (Twitter).
Baca Juga: