Ini Tulisan Narudin yang Dianggap Penipuan oleh Dedy Tri Riyadi
#KAWACA.COM - Beberapa hari terakhir, grup
facebook Apresiasi Sastra (APSAS) kembali heboh. Bermula dari Denny JA memposting
tulisan tentang film. Postingan tersebut melanggar aturan main APSAS, bahwa
tidak boleh memposting apapun yang bukan sastra atau tidak terkait sastra.
Siapapun yang melanggar, otomotis dikeluarkan. Perdebatan pun dimulai, Denny ngotot jika film adalah bagian dari sastra. Anggota grup lain, seperti Saut Situmorang,
Malkan Junaidi, dan lainnya juga ngotot menolaknya.
Kemudian melalui akun
facebooknya (8/11/2017, 11.30 WIB), Narudin Pituin memposting tulisan berjudul:
FILM SEBAGAI KARYA SASTRA
Oleh Narudin
Inovasi dalam sastra terus berkembang sebab sastra merupakan hasil
penjumlahan (atau ketegangan) antara konvensi dan inovasi, demikian ujar A.
Teeuw pada tahun 1980-an. Kalau konvensi terlalu besar, maka sastra tersebut
bersifat konvensional. Namun, kalau konvensi itu dikalahkan oleh inovasi, maka
sastra itu berwatak inkonvensional (baca: inovatif).
Dari dua problem konvensi dan inovasi dalam sastra itu, maka lahirlah
puisi-puisi Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan
beberapa yang lain—di lain pihak, lahirlah pula prosa-prosa Armijn Pane, Iwan
Simatupang, Danarto, Budi Darma berikut epigon-epigon mereka. Tambahan pula,
lahir jugalah drama-drama W.S. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noor, dan
sebangsanya. Kendatipun tak seluruhnya inkonvensional, tetapi corak ketegangan
antara konvensi dan inovasi dalam karya-karya sastra mereka mudah dikenali.
Perkembangan sastra pun bermekaran dari “yang bersifat tekstual” hingga
“yang bersifat visual” berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cerpen,
novel, dan drama kini sudah dapat ditonton dalam bentuk film. Film
didefinisikan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebagai “kisah gambar
hidup”, sedangkan drama didefinisikan dalam KBBI sebagai “kisah yang
dipentaskan”. Perbedaan yang mencolok dari kedua definisi yang disarikan itu
ialah terletak kepada komplemen atau pelengkap predikatif-nya, yakni “gambar
hidup” dan “yang dipentaskan”, yang disebut pertama dipertunjukkan dalam bentuk
teknologi visual (film), yang disebut belakangan ditampilkan di atas panggung
(drama). Drama disuguhkan dalam bentuk akting (gerak-gerik badan) plus dialog
dan sekian tata panggung beserta hiasan-hiasan tambahan lainnya.
Sementara itu
film pun disuguhkan dalam bentuk akting plus dialog dan sekian tata audio-visual,
termasuk sekian efek sinematografis lainnya yang jelas teknik pemotongan adegan
serta sekian penyuntingan pemilihan adegan-adegan itu tak dapat dihindarkan
demi kesempurnaan film yang hendak ditayangkan kemudian. Jelas, kini, kesalahan
akting dalam bentuk adegan-adegan dalam film sudah melewati fase penyuntingan/pemotongan yang direkayasa.
Sedangkan, dalam pertunjukan drama yang bersifat langsung,
penyuntingan/pemotongan di atas panggung merupakan sesuatu hal yang mustahil
jika tidak ingin disebut sebagai “drama komedi” atau “drama lelucon zaman
sekarang (now)”—termasuk inovasi, termasuk inkonvensi pula sesungguhnya, pada
taraf tertentu. Lihatlah teknik “efek alienasi” drama Bertolt Brecht—seorang
Marxis yang justru memiliki perbedaan dengan gagasan-gagasan Marx dan Engels
begitu rupa sehingga drama-drama Brecht tak pernah dipanggungkan di Uni Soviet
sepanjang hidupnya (Fokkema dan Ibsch, 1998).
Dalam sebuah kelompok sastra kini tengah muncul sebuah polemik: apa
film termasuk karya sastra?
Kita tentu sudah dapat menjawab pertanyaan ini dengan mudah, dan jangan
harap mendapat jawabannya dari buku-buku teori dasar sastra yang bersifat
konvensional, misalnya, buku Prinsip-prinsip Dasar Sastra (2015, edisi revisi)
oleh Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan atau umpamanya buku berjudul Pengantar
Apresiasi Sastra (2015, cetakan ke-13) karya Drs. Aminuddin, M. Pd.. Di dalam
kedua buku konvensional itu hanya menyebut puisi, prosa, dan drama sebagai
karya sastra. Bahkan di dalam buku karangan Aminuddin itu, sastra hanya dibagi
dua secara garis besar, yaitu prosa fiksi dan puisi. Sebenarnya, kedua buku itu
dari segi isi bukanlah buku teori sastra sederhana lantaran isinya mengutip
dari sekian sumber pustaka yang berbobot dan ter-percaya, selain diimbuhi oleh
gagasan-gagasan pengarang bukunya yang cukup kreatif dan padat. Hanya satu hal
saja, kedua pengarang buku itu belum menyebut secara khusus bahwa “film”
termasuk genre sastra.
Cobalah kita baca buku teori sastra masa kini yang ditulis oleh seorang
profesor bahasa Inggris dan studi Amerika dari Universitas Innsbruck, Mario
Klarer, berjudul An Introduction to Literary Studies (1998). Klarer secara
khusus memasukkan genre film sebagai karya sastra dalam bahasan bab “studi
tekstual” setelah ia membahas secara padat perihal fiksi (fiction), puisi
(poetry), drama (drama), dan terakhir film (film). Saya kutip dua paragraf
pembuka dari Klarer halaman 56-57 tatkala ia menguraikan film sebagai karya
sastra:
“At the end of the twentieth century, it is impossible to neglect film
as a semi-textual genre both influenced by and exerting influence on literature
and literary criticism. Film is predetermined by literary techniques;
conversely, literary practice developed particular features under the impact of
film. Many of the dramatic forms in the twentieth century, for example, have
evolved in interaction with film, whose means of photographic depiction far
surpass the means of realistic portrayal in the theater.”
…
“Film’s idiosyncratic modes of presentation—such as camera angle,
editing, montage, slow and fast motion—often parallel features of literary
texts or can be explained within a textual framework.”
…
Dari dua paragraf di atas, sudah jelas sekali, bahwa kata Mario Klarer,
“film termasuk karya sastra dan segala macam mode presentasi film sesuai dengan
fitur-fitur teks sastra dan dapat pula dijelaskan dalam kerangka tekstual”.
Pendek kata, film ialah pergerakan kontemporer dari mode sastra tekstual ke
mode sastra visual. Sampai penjelasan ini, tentu saja apa yang sudah saya
terangkan di atas secara panjang lebar itu senada dengan pendapat Klarer.
Dengan demikian, kita perlu meng-upgrade pengetahuan kita tentang genre-genre
sastra kontemporer, termasuk genre sastra film.
Kini sudah jelas bahwa film ialah karya sastra. Tidakkah hal demikian
merupakan buah dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dinamika kreatif
dari sastra tekstual ke sastra visual?
Bahasan lebih panjang lebar dapat saya tambahkan dari segi ilmu
Semiotika perihal film sebagai karya sastra. Namun, tentu saja, bukan di sini
tempatnya, ruang terbatas. Sementara itu, kiranya dapatlah pula Anda membaca
buku hasil riset/penelitian serius saya berjudul Membawa Puisi ke Tengah
Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA (2017). Di sana sudah saya analisis film
dengan pendekatan semiotik.
Demikianlah.
***
Dawpilar, 2017
Di hari yang sama, melalui
akun facebooknya (8/11/2017, 12.30 WIB), Denny JA membagikan tulisan Narudin
tersebut ke APSAS. Beragam komentar muncul, dalam pantauan Redaksi Kawaca, Dedy
Tri Riyadi mempersoalkan tulisan Narudin tersebut -bahkan- Dedy menganggapnya
sebagai penipuan. Dedy menulis beberapa komentar:
Darah Yesus! Kalimat di
bawah ini mana nyambung-nyambungnya dengan Film sebagai Sastra?
“At the end of the twentieth
century, it is impossible to neglect film as a semi-textual genre both
influenced by and exerting influence on literature and literary criticism. Film
is predetermined by literary techniques; conversely, literary practice
developed particular features under the impact of film. Many of the dramatic
forms in the twentieth century, for example, have evolved in interaction with
film, whose means of photographic depiction far surpass the means of realistic
portrayal in the theater.”
Bacalah dengan teliti. Itu hanya
keterpautan. Saling pengaruh-mempengaruhi! Google saja menerjemahkannya dengan
baik lho;
"Pada akhir abad ke-20,
tidak mungkin untuk mengabaikan film sebagai genre semi-tekstual, keduanya
dipengaruhi oleh dan memberikan pengaruh pada literatur dan kritik sastra. Film
ditentukan oleh teknik sastra; Sebaliknya, praktik sastra mengembangkan fitur
tertentu di bawah dampak film. Banyak bentuk dramatis di abad kedua puluh,
misalnya, telah berevolusi dalam interaksi dengan film, yang sarana
penggambaran fotografinya jauh melampaui penggambaran realistis di
teater."
Narudin itu jelas menipu
pembaca, tulisannya dengan kesimpulan yang ini:
"film termasuk karya
sastra dan segala macam mode presentasi film sesuai dengan fitur-fitur teks
sastra dan dapat pula dijelaskan dalam kerangka tekstual”.
Karena ini jelas sekali
tidak ada pada perkataan yang dia kutip di atasnya;
“Film’s idiosyncratic modes
of presentation—such as camera angle, editing, montage, slow and fast
motion—often parallel features of literary texts or can be explained within a
textual framework.”
Maksud dari kutipan itu
adalah:
"Mode penyajian yang
khas di dalam film - seperti sudut kamera, pengeditan, montase, gerakan lambat
dan cepat - (menjadi) fitur-fitur yang seringnya paralel dengan teks sastra
atau dapat dijelaskan dalam kerangka tekstual."
Mungkin bagi yang belum
pernah baca skrip / naskah belum tahu ada bagian naskah yang begini :
zoom out
zoom in
fade out
fade in
dan sebagainya, yang itu
jelas berhubungan sekali antara teks dengan bahasa gambarnya.
Demikian dan selamat menilai. Perdebatan
masih berlanjut...(ss)