Rumi, Umberto Eco, dan Semangkuk Sup - Ahmad Yulden Erwin
Rumi, Umberto Eco, dan Semangkuk Sup
Oleh Ahmad Yulden
Erwin*
Sebait Masnawi karya Jalaluddin Rumi:
1. Teks Asli dalam Bahasa Parsi:
Sh'er-e man nan-e mesr ra manad,
shab bar u bogzarad natani khord.
An zamanash bokhor ke taze bovad,
pish az anke bar u neshinad gard.
2. Terjemahan dalam Bahasa Inggris:
My poetry is like Egyptian bread,
after the night you can't eat it.
Eat it while it is fresh,
before the dust has settled on it.
3. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Bagai roti Mesir sajakku, selepas
malam tak bisa kau memakannya
Makanlah ia selagi segar,
sebelum debu pun melingkupinya
Apa yang dimaksud "roti Mesir" atau "nan-e
mesr" seperti tertera di baris pertama puisi Masnawi karya
Jalaluddin Rumi (lahir 1207 di Vakhsh-Tajikistan dan wafat 1273 di Konya-Turki)
di atas?
Namun, sebelumnya saya akan menjelaskan lebih dulu bahwa
kutipan bait puisi di atas diambil dari kumpulan puisi yang berjudul "Masnawi".
Di dunia, termasuk juga di Indonesia, puisi-puisi di dalam Masnawi karya
Rumi adalah puisi-puisi yang sangat terkenal. Masnawi telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan diapresiasi dengan sangat baik
oleh kalangan kritikus sastra, para sufi dan pelaku spiritual, termasuk para
ilmuwan. Buku ini terdiri dari enam jilid (bahkan ada para ahli yang menyatakan
terdapat jilid ke-7). Enam jilid Masnawi berisi sekitar 25.000 bait atau
50.000 baris. Di samping sebagai teks sastra, Masnawi sesungguhnya
adalah satu teks spiritual yang mengajarkan para sufi bagaimana melangkah ke
tujuan mereka, "Tanah Terjanji" itu, demi benar-benar jatuh cinta
kepada-Nya.
Judul Masnavi-i Ma'navi (bahasa Parsi) bila
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti "Kuplet Spiritual".
Kuplet adalah bentuk puisi yang terdiri dari dua baris berpasangan, dengan
metrum dan rima yang sama, dan menurut para ahli sastra, seperti R. A.
Nicholson, Masnawi merupakan bentuk puisi temuan Rumi. Pengaruh bentuk Masnawi
di dalam puisi Melayu dapat ditemui pada bentuk puisi "gurindam",
seperti Gurindam Raja Ali Haji misalnya. Jadi, sebenarnya, puisi-puisi Rumi di
dalam Masnawi ditulis menggunakan bentuk kuplet atau dua baris
berpasangan (silakan lihat teks asli puisi-puisi Masnawi Jilid 1, dalam
Bahasa Persia:
https://archive.org/details/MasnaviManaviMaulanaJalaluddinRumiVol1
https://archive.org/details/MasnaviManaviMaulanaJalaluddinRumiVol1
Secara tematik Masnawi adalah kumpulan anekdot dan cerita puitis yang berasal dari Al-Quran, hadis, atau kehidupan sehari-hari. Tema-tema di dalam Masnawi dinarasikan untuk menggambarkan satu soal yang kemudian diuraikan secara mendalam. Masnawi menggabungkan berbagai kearifan Islam, tetapi terutama berfokus pada penekanan tafsir sufistik. Berbeda dengan Diwan Samshi Tabriz (kumpulan puisi lirik Rumi yang berisi lebih dari 40.000 bait, ditulis dalam bahasa Persia Baru, yang menggunakan berbagai bentuk puisi seperti ode, gazal, kuatrin, dan lainnya), puisi-puisi di dalam Masnawi adalah teks yang relatif "Apollonian" atau "sadar". Masnawi menjelaskan berbagai dimensi kehidupan spiritual dan praktik tarekat bagi murid sufi atau siapa saja yang ingin merenungkan makna terdalam kehidupan. Jadi, ini bukanlah buku puisi murni sebagai ekspresi lirik, tetapi sebagai buku puisi didaktik yang menjadi penuntun bagi para murid Rumi dan pejalan spiritual lainnya dalam melangkah di jalan Tuhan.
Mengingat bentuk Masnawi oleh Rumi bukanlah
ekspresi lirik, melainkan puisi dua baris berpasangan pada setiap baitnya dan
bertujuan sebagai wahana didaktik, maka frasa "roti Mesir" pada puisi
yang saya kutipkan di atas jelas bukanlah simbol bebas semacam tanda semiotik
hasil imajinasi penyairnya belaka. Frasa "roti Mesir" itu memiliki
tiga dimensi ekspresi puitik, yaitu: ekspresi metaforik, pataforik, dan simile.
Untuk lebih jelas, dalam konteks ekspresi metaforik, coba telisik ayat 57 surah
Al-Baqarah di dalam Al-Quran sebagai berikut:
وَظَلَّلْنَا
عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِن
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ
يَظْلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami
turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik
yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” ( Al-Baqarah: 57)
Konteks pemaknaan (asbabun nuzul) ayat di atas
merupakan narasi dari satu kisah saat bangsa Israel melarikan diri dari Mesir
menuju "Tanah Terjanji". Setelah berpuluh tahun mereka tersesat di
tengah gurun, tibalah masa ketika mereka dilanda kelaparan. Kemudian Tuhan
mengutus malaikat-Nya untuk mengirimkan "manna" dan "salwa"
kepada mereka. Manna adalah sejenis roti yang ada di negeri Mesir sewaktu
bangsa Israel masih menjadi budak-budak yang membangun piramida.
Di dalam tradisi iman Nasrani, pengertian
"manna" sebagi roti keselamatan yang diturunkan langsung dari surga
tiada lain adalah Yesus sendiri. Seperti Yesus pernah berkata: “Akulah manna
yang hidup . . . manna dari Allah ialah roti yang turun dari surga dan yang
memberi hidup kepada dunia.” (Injil Yohanes, 6: 38, 34, 33).
Jadi, frasa itu tidak tepat bila ditafsirkan sekadar roti
biasa dari Mesir, roti fisik belaka, tetapi merupakan metafora dari
"firman Tuhan yang hidup serta berkah Tuhan kepada manusia yang tengah
menuju pembebasan spiritual di Tanah Terjanji", yang kemudian dicitrakan
secara pataforik oleh Rumi sebagai sajak-sajaknya sendiri, pula diekspresikan
dengan teknik simile. Tililklah bagaimana Rumi dengan jenial menggunakan secara
bersamaan teknik metafora, patafora, juga simile di dalam puisinya itu, dan ini
terjadi sekira 800 tahun lalu. Hal begini juga secara tematik merupakan kredo
yang halus dengan lapis-lapis kesadaran (bukan propaganda yang menipu) kepada
murid-murid Rumi dan para penempuh jalan sufi, yang menjadi sasaran didaktik
dari puisi-puisi Masnawi. Dengan kata lain puisi-puisi Rumi merupakan
kesadaran langsung perihal makna terdalam Al-Quran dan bukan sekadar kesadaran
yang kerap goyah, kesadaran abid awam, di hadapan Al-Quran. Meski begitu Rumi
tak perlu membuat siasah atau advertensi dengan menggunakan dusta atau sesat
pikir hanya agar puisinya dibaca. Puisi-puisinya telah dibaca oleh ratusan ribu
bahkan jutaan orang selama 800 tahun lebih oleh para pembaca dari berbagai
bangsa dan keyakinan. Ia tak perlu membuat propaganda "politik sastra"
yang mencitrakan seolah-olah ia penyair "Islami" dan puisi-puisinya
perlu dibaca, melalui semacam advertensi yang kasar, dengan berteriak-teriak di
ruang publik perkara iman, adab, dan kembali kepada Al-Quran (tanpa benar-benar
memahami makna terdalamnya). Puisi-puisi Rumi, bila kita mau membaca dengan
pikiran terbuka dan terbebas dari segala siasah licik, sudah teramat cukup
untuk membuktikan perihal presensi dari "kesadaran Ilahi"-nya,
kesadaran terdalam akan firman-Nya.
Kemudian, dari segi irama puitik, perhatikan bagaimana
teks asli puisi Rumi di atas (setelah ditranslasi menjadi pelafalan menggunakan
huruf Latin, bukan huruf Arab) sangat menjaga metrum dan rima akhir kalimat.
Persoalan metrum ini sangatlah krusial di dalam puisi-puisi Rumi, karena
biasanya puisi-puisinya akan dinyanyikan dengan diiringi musik dalam tradisi
sufisme. Sebagai orang yang menekuni puisi selama tiga puluh tahun, saya
menyadari betapa sulitnya menghasilkan karya sebanyak 65.000 lebih bait,
seperti yang dilakukan oleh Rumi, dengan tetap menjaga keseimbangan komposisi
puitik antara pendalaman-tematik, lukisan-puitik, hingga gita-puitik. Rumi,
dengan bukti 65.000 lebih bait puisinya itu, adalah keajaiban yang hidup dalam
dunia spiritual dan khasanah sastra dunia.
Nah, bila ada
seorang "kritikus gadungan" di sini yang telah dengan gegabah
mengatakan bahwa puisi Rumi tidak bertolak dari kedalaman nilai Al-Quran, pula
kalah nilai estetiknya dari puisi neo-pujangga-baru karya seorang penyair
"plat merah" Malaysia (apa buktinya?), sementara ia sendiri baru
membaca sekadar puisi-puisi Rumi dari karya terjemahan dalam Bahasa Indonesia
belaka, maka jelas sekali tudingan dan kritik ngawurnya itu sungguh tak
berdasar. Jika ia ingin membuat perbandingan dalam konteks gaya puisi misalnya,
maka ia mesti memahami dan membaca langsung puisi-puisi Rumi dalam Bahasa
Parsi, bukan terjemahan dalam Bahasa Indonesia (apalagi hanya terjemahan yang
buruk). Metode perbandingan sastra yang mendasar begini saja tak ia pahami,
tapi sudah secara ngawur berani menyimpulkan tanpa pembuktian validitas argumen
bahwa puisi Rumi di atas "kalah cepat" (istilah apa pula itu dalam
konteks ars poetica?) dibanding dengan puisi seorang penyair Malaysia
yang dipuja-pujanya itu (tanpa pembuktian yang benar).
Selanjutnya, dia pun sama sekali tak paham apa sebenarnya
teori semiotika dan hipersemiotika dari Umberto Eco. Hal ini terbukti ketika
dalam satu tulisannya ia menganggap "a theory of the lie"
sebagai teori yang mengafirmasi "dusta" di dalam semiotika atau
tindak semiotika. Prof. Gadungan itu justru sama sekali tak paham akan ironi,
atau seperti kata Jean Baudrillard: "Seseorang yang telah kehilangan
selera akan ironi." Sekarang saya akan memberitahunya bahwa "Teori
Dusta" di dalam semiotika Umberto Eco adalah semacam sarana analisis
(umpama dekonstrkuksi) untuk membongkar bagaimana praktik-praktik
"pembohongan publik" oleh otoritas-otoritas kuasa--baik kuasa politik
atau modal atau rasial atau bahasa atau bahkan agama. Jadi "teori
dusta" itu adalah semacam negasi, semacam kritik yang mungkin pedas
sekali, terhadap praksis hagemoni dalam semiotika dan atau tindak semiotika.
Ketika Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul A Theory of Semiotics
(1979) menyatakan bahwa semiotika adalah “teori yang bisa digunakan untuk
berdusta”, itu tidak berarti secara afirmatif Umberto Eco menganjurkan
berdusta. Sama halnya bila saya katakan bahwa "pisau bedah bisa digunakan
untuk melukai orang", pernyataan saya itu tidak bisa dimaknai bahwa saya
telah menganjurkan melukai orang dengan pisau bedah. Pahamkah? JIka belum
paham, silakan belajar lagi.
Terakhir, saya akan kutipkan langsung pendapat (dengan
nuansa ironi yang kental) dari Umberto Eco dalam bahasa Italia. Moga Prof.
Gadungan itu bisa menertawakan bagaimana ia sendiri justru telah melakukan
praktik afirmasi terhadap teori dusta yang dikecamnya tanpa terlebih dahulu
memahaminya dengan benar. Begini:
“C’è una nota storiella che narra come due cani si incontrino a Mosca;
l’uno è grasso e ben pasciuto, l’altro magro e affamato. Il cane affamato
domanda all’altro: “come fai a trovare da mangiare?” e l’altro, con abilità
zoosemiotica, risponde: “facilissimo. Ogni mattina a mezzogiorno vado
all’Istituto Pavlov e mi metto a sbavare; ed ecco che a quel punto arriva uno
scienziato condizionato che suona un campanello e mi porta un piatto di zuppa”.
(Ada satu cerita terkenal yang mengisahkan bagaimana dua
anjing bertemu di Kota Moskow; yang satu nampak gemuk dan cukup makan, yang
lain kurus dan kelaparan. Anjing lapar itu bertanya kepada anjing gemuk,
"Bagaimana kau bisa cukup makan?" Anjing gemuk itu, dengan kemampuan
"semiotika kebun binatang", menjawab riang: "Sangat mudah.
Setiap pagi hingga sore saya nongkrong di Institut Pavlov dan berikutnya saya
mulai meneteskan liur. Setelah itu seorang ilmuwan totok yang memainkan bel
mulai datang dan menyuguhkan sepiring sup.) ― Umberto Eco, Trattato Di Semiotica
Generale.
2017
*Lahir di Tanjungkarang, 15 Juli 1972. Aktif menulis puisi dan prosa sastra sejak tahun 1987.
Menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (1997).
Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi puisi bersama para penyair
Lampung dan nasional, di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Tap!
(1988), Pewaris Huma Lada (1989), Gelang Semesta (1989), Belajar
Mencintai Tuhan (1992), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas
Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad
Indonesia (1996), Dari Huma Lada (1996), Mimbar Penyair Abad 21
(1997), dan Cetik (1999).
Kini ia aktif menjadi
aktivis gerakan anti korupsi pada satu NGO di Lampung, yaitu Komite Anti
Korupsi (KoAK). Aktivitasnya sebagai koordinator KoAK, membuat ia sering turun
ke pelosok-pelosok desa di Lampung, membangun basis dan membentuk Posko
Masyarakat Pemantau Korupsi (PMPK) di desa-desa. Saat ini KoAK memiliki sekitar
3000 orang relawan dan partisipan yang aktif melakukan pemantauan dan
investigasi korupsi di Lampung. Sampai sekarang jaringan KoAK sudah berkembang
ke 8 propinsi di Sumatera.