Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia - Herman Syahara
Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia
Oleh Herman Syahara*
#Kawaca.Com - Sastrawan Indonesia sedang dan akan terus menghadapi tantangan dan
ancaman yang datang dari luar dan dalam dirinya. Tantangan dan ancaman itu
antara lain berupa rendahnya posisi tawar sastrawan saat berhadapan dengan
pemangku kepentingan seperti kalangan penerbit pemodal besar dan regulator.
Sastrawan juga berada dalam bayang-bayang potensi konflik yang bisa berujung di
meja hijau seperti yang belakangan pernah terjadi.
Untuk mengatasi ancaman dan tantangan itu, sastrawan
Indonesia tidak bisa berjuang sendiri-sendiri. Mereka harus merapatkan barisan
dengan membentuk asosiasi profesi yang diniatkan sebagai wadah untuk
memperjuangkan hak dan kepentingan bersama berdasarkan perundangan.
Hal ini penting karena asosiasi atau organisasi yang
pernah dibentuk sejumlah sastrawan dalam beberapa dekade belakangan sebagian
besar dinilai gagal memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya lantaran
dibangun tanpa landasan kode etik yang kuat, tak punya visi, dan hanya
dijadikan ajang kongkow semata.
Demikian benang merah yang dapat direntang dari diskusi
bertajuk Perlukah Asosiasi Profesi Sastrawan, yang berlangsung di Gedung
Perpusnas Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (13/10). Acara yang
diselenggarakan atas kerjasama lembaga Pasar Buku Sastra dan Perpustakaan
Nasional itu berlangsung hangat dengan menghadirkan pembicara dari kalangan
birokrat, akademisi, sastrawan, serta pegiat literasi.
Mereka adalah Mustari Irawan, Ketua Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI); Riri Satria, dosen ilmu manajemen di lembaga PPM
School of Management dan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia; Saut
Poltak Tambunan, sastrawan penulis 70-an buku sastra; Remy Novaris DM, Ketua
Komunitas Penyair Dapur Sastra Jakarta dan Pengelola Penerbit Indie Teras
Budaya; serta Sosiawan Leak, pegiat literasi dan gerakan Puisi Menolak Korupsi.
Menurut Saut Poltak Tambunan, novelis yang lebih dari
separuh usianya, habis untuk berkarya dan makan asam garam mendirikan dan
mengurus organisasi kepenulisan, betapapun terkesan sulit mengatur “habitat
sastrawan”, namun berdirinya sebuah asosiasi profesi yang profesional adalah
sebuah keniscayaan.
“Bicara asosiasi adalah bicara legalitas. Ini penting
untuk berhadapan dengan berbagai kepentingan yang akan memanfaatkan kehadiran
sastrawan,” tegas salah seorang pendiri organisasi pengarang AKSARA pada 1981
yang menghimpun para pengarang pada masa itu.
Dia menilai posisi tawar sastrawan di mata penerbit major
dan regulator perbukuan masih lemah. Mulai dari mekanisme penentuan besaran
royalti, waktu pembayaaran, dan informasi jumlah buku yang terjual, ditentukan
oleh pihak penerbit.
Saut mengatakan, dari pengalamannya sebagai sastrawan
yang berhadapan dengan penerbit major, dia belum pernah merasakan
menandatangani kontrak yang klausulnya menguntungkan sastrawan.
“Penerbit selalu mengatur bahwa honor diterima setelah
buku terjual. Begitu terbit, penulis cuma dapat nomor bukti lima eksemplar.
Kita pun tidak tahu berapa persisnya buku yang terjual selain yang disampaikan
oleh penerbit” ujar peraih dua kali Anugerah Rancage ini untuk novel dan
komunitas yang dibuatnya itu.
Menurut Saut, andai ada asosiasi profesional sebagai
tempat mengadu dan berlindung, tentu posisi tawar sastrawan dapat lebih baik
sehingga dapat berdiri sejajar dengan penerbit. Alasannya, sastrawanlah yang
“memberi makan penerbit” lewat karyanya, bukan sebaliknya.
Remmy Novaris DM juga mengaku kenyang mengurus organisasi
sastrawan dan seniman. Diantaranya adalah PEN (Poet, Essayist, Novelist) yang
pengurusnya menyebar di berbagai negara. Organisasi lain yang pernah
dikelolanya adalah KSP (Koperasi Senuman Jakarta) yang memiliki legalitas
(akte) dan program yang jelas. Misalnya, menerbitkan dan memasarkan buku
sastra, menggelar diskusi-diskusi, serta menjamin kesejahteraan anggotanya.
Koperasi Seniman Jakarta bahkan sampai mendapat bantuan Rp50 juta dari
Kementerian Koperasi.
“Namun sekarang nasib PEN tidak jelas. Terpecah-pecah
karena berbagai kepentingan bisnis dan ideologi, ” kata Remmy. Demikian juga
KSB, bahkan uang bantuan koperasi Rp50 juta tidak jelas nasibnya.
Menurut Remmy, tidak satu pun organisasi atau asosiasi
penulis yang tumbuh besar. Berbagai asosiasi yang ada sekarang tidak jelas arah
dan programnya, selain hanya tempat reuni.
Nampaknya Ketua Dapur Sastra Jakarta dan pengelola penerbitan
Teras Budaya itu masih “trauma” dengan peran sebuah organisasi kepenulisan.
“Apakah masih mungkin dibentuk asosiasi profesi sastrawan?” tanyanya agak
pesimistis, seraya menambahkan, kalau memang ada pihak yang akan membentuk
asosiasi sastrawan, sebaiknya dibentuk dengan simpel saja namun dengan landasan
etika yang tegas.
Di mata Sosiawan Leak, sastrawan Indonesia belum pernah
membentuk organisasi, perkumpulan, atau asosiasi yang tergolong profesional.
Yang pernah ada adalah organisasi yang hanya bicara soal genre sastra, politik
sastra, atau hegemoni sastra.
“Kalau nanti ada asosiasi profesi sastrawan, tidak melulu
bicara itu. Yang penting adalah melindungi, menjembatani, menjamin, dan
mempertahankan hak-hak sastrawan dalam berhadapan dengan pihak-pihak yang
menekannya.
Menurut Leak, asosiasi profesi itu harus membela dan
mengabdi pada anggotanya saat berhadapan dengan regulasi pemerintah yang
merugikan. Juga siap berhadap-hadapan dengan pihak swasta baik kalangan
penerbit, entertainmen, atau kaum kapitalis yang hendak memanfaatkan dan
memanipulasi para sastrawan.
“Yang tak kalah penting, asosiasi sastrawan harus punya
kode etik dan independen dari kepentingan penguasa. Kalau satu asosiasi profesi
tidak independen akan membuka lahirnya asosiasi profesi sastrawan tandingan
yang lebih independen,” katanya.
Leak menyebut AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dan IDI
(Ikatan Dokter Indonesia), sebagai contoh asosiasi yang baik karena mau membela
hak dan kepentingan anggotanya. Sengketa yang pernah terjadi di dunia sastra
seharusnya tidak perlu sampai berujung di pengadilan kalau ada organisasi
profesi sastrawan andal yang akan membela anggotanya.
“Eksistensi sebuah asosiasi sastrawan bukan diukur dari
keberhasilan bagi-bagi proyek dan bagi-bagi duit. Karena masalah ekonomi itu
akan terjawab jika sastrawan produktif menghasilkan karya yang baik,” Leak
mengingatkan.
Tantangan sastrawan
Berbicara di tataran teori sebagai akademisi, Riri Satria
juga menegaskan pentingnya sebuah asosiasi sastrawan. Sastrawan yang terhimpun
dalam sebuah asosiasi akan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menghadapi
tantangan atau kepentingan yang berpotensi merugikan sastrawan.
Dia menyebut, tantangan pertama datang dari penerbit
penerbit bermodal besar, yakni bagaimana sastrawan harus bersikap dalam
hitung-hitungan royalti yang lebih sering diatur oleh penerbit major itu.
Kedua, tantangan regulasi dari penguasa, misalnya dalam
hal mengusahakan keringanan beban pajak dari pemerintah seperti yang baru-baru
ini terjadi atau menghadapi regulasi lain yang berpotensi merugikan sastrawan.
Ketiga, tantangan kesejahteraan, terutama di saaat si
sastrawan sudah tidak produktif di hari tua. Bagaimana cara sastrawan
menghidupi diri, apakah ada tunjangan?
Selanjutnya, tantangan hukum. Artinya, sastrawan juga
berpotensi tersangkut masalah hukum (pidana dan perdata), lalu bagaimana
mengatasinya.
“Semua tantangan itu bisa dihadapi andai ada asosiasi
profesi sastrawan,” tegas pengelola perusahaan konsultan manajemen itu.
Namun, menurut Riri, sebelum membantuk sebuah asosiasi
profesi, dia mengingatkan agar sastrawan mengidentifikasi dan mengklarifikasi
dulu pengertian “profesi” dan “asosiasi” sehingga asosiasi profesi yang akan
dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan bobot tantangan yang dihadapi para
sastrawan sendiri.
Seolah hendak menjawab paparan pembicara terdahulu,
berbicara di akhir sesi, Ketua Arsip Nasional Republik Indonesia Mustari Irawan
menegaskan, kalau sastrawan ingin berkembang harus membuat asosiasi yang
bersifat formal agar posisi tawarnya kuat saat berhadapan dengan pihak lain
seperti pasar dan regulator.
Esensi sebuah asosiasi, menurut Mustari, adalah
organisasi. Ada kepentingan, kerja sama, ada keterhubungan, dan interkasi di
dalamnya. Sastrawan harus punya kebutuhan bersama bahwa asosiasi ini perlu.
“Tapi kalau hanya satu dua orang sastrawan yang butuh,
tidak bisa. Semua sastrawan harus punya kebutuhan bersama agar asosiasi
berjalan,” paparnya
Mustari menegaskan, asosiasi yang kuat harus memenuhi
aspek legal karena setiap organisasi adalah turunan dari peraturan perundangan.
Oleh karena itu ke depan sastrawan harus memperjuangkan Undang-undang
Kesusastraan sebagai landasan perjuangan eksistensi kesusastraan dan nasib
sastrawannya.
Dia menyebut contoh instansi ANRI yang dipimpinnya
dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 43 tahun 2009 tentang Kearsipan.
Disebutkan bahwa dalam bidang kearsipan harus punya asosiasi profesi. Karena
ANRI sudah memiliki asosisi profesi itu, posisinya kuat sehingga dapat
melakukan sertifikasi atau menyidangkan kasus seseorang yang membocorkan
rahasia kearsipan negara.
“Kalau nanti sastrawan punya asosiasi yang dibentuk
berdasarkan perundang-undangan, sastrawan akan punya kekuatan tawar yang tinggi
baik itu dari kepentingan hegemoni penerbitan bermodal besar maupun kekuatan
lain yang mengancam eksistensi sastrawan,” katanya.
*Penyair,
Jurnalis, dan Juru Foto. Lahir di Garut, 1963. Puisi-puisinya
telah tersebar di sejumlah media, dan buku puisi bersama. Buku puisi tunggalnya
yang telah terbit, Mahkamah untuk Secangkir Kopi (LKIP, 2016).