Puisi dalam Pandangan Gerson Poyk - Fanny J. Poyk
Puisi dalam Pandangan Gerson Poyk
(Kenangan Literasi bersama Bapak)
Oleh : Fanny J. Poyk*
Belakangan ini puisi mulai naik daun, hampir seluruh grup di
Facebook atau WA yang mengusung sastra sebagai point utama dalam menjaring
pengikut, menempatkan puisi sebagai topik utama yang paling menarik perhatian
untuk ditulis maupun diapresiasi. Pecinta puisi baik itu yang amatiran,
pendatang baru, hingga pakar, seakan berlomba menampilkan karya mereka yang berat,
penuh rangkaian kata dengan imajinasi tinggi, hingga puisi ringan yang mudah
dimengerti. Bagi para pakar pencipta puisi, tentu ada kiat-kiat khusus yang
bersumber dari data dan pembelajaran yang intens dari berbagai puisi ciptaan
penyair Amerika, Eropa, Afrika, Jepang, Cina bahkan Indonesia.
Semua itu, mengingatkan
saya pada Bapak, saat kami ngobrol tentang puisi dan di luar, hujan turun begitu deras. Bukan
berarti kami adalah pakar atau ahli di bidang puisi, tentu masih ada persepsi
yang berbeda dari para pembaca, perihal seperti apa sebuah puisi yang menarik, menghibur,
atau yang dapat memberi makna terdalam bagi pembaca dan penulisnya. Obrolan ini
barangkali bisa menghibur atau mungkin juga membuat orang mengernyitkan dahi,
itu sah-sah saja, jika tak suka silakan diabaikan, bagi yang menyukainya, silakan
mengikuti hingga akhir.
Menurut Gerson Poyk, puisi yang penuh kritikan, puisi
politik, dan lain-lain, diibaratkan sebagai puisi ‘daging mentah’ yang belum dicampur dengan
bumbu-bumbu, puisi ini hanya memakai akal saja dan bahasanya mudah dimengerti,
puisi-puisi seperti ini tidak dibarengi dengan perasaan, imajinasi, logos dan
naluri-naluri. Semua itu nantinya akan tenggelam di bawah sadar jiwa. Sedangkan
puisi yang bagus adalah, akal dikawinkan dengan imajinasi, perasaan,
naluri-naluri yang semuanya dicampur aduk sehingga menyerupai makanan yang
enak, puisi seperti ini muncul dari getaran-getaran intuitif di dalam batin.
Jika kita membuat puisi yang mudah dimengerti, itu
seperti puisi ‘daging mentah’ yang belum dicampur dengan imajinasi, perasaan
dan naluri-naluri, ibarat bumbu masakan, jika tak ada rasa dalam mengolahnya,
maka seperti apapun hasil masakan itu, rasanya akan hambar dan kurang menarik.
Jadi, semua itu harus ditenggelamkan dan dimasak hingga menjadi suguhan
makanan yang enak untuk dimakan. Seorang penyair harusnya bermodal pada poetic
intuition atau intuisi puitis, di mana di dalam batin keberadaannya gelap gulita.
Hal itu harus kita gali secara terus menerus, ada perasaan-perasaan yang
tersembunyi di dalam batin dan itulah yang harus ‘dimasak’ atau diolah.
Contohnya: “Kulihat bulan di langit” adalah arti rasional, tapi “kulihat bulan di
matamu” merupakan arti imajinal.
Seorang penyair pasti memiliki kosa kata bahasa yang
indah. Di samping itu dalam sebuah puisi juga harus ada kemerduan bunyi.
Kata-katanya jangan berakhiran a…a…a saja, akan tetapi harus dipadu dengan
bunyi m…n…ng…o…i…e, dan lain-lain. Ini disebut dengan poetic sense atau cita rasa puitis dalam
kata. Setelah itu harus ada pengalaman puitis yang berasal dari batin sendiri.
Misalnya tentang kisah masa kecil, mengenal masa lampau dan lainnya, di situ
terdapat gaung batin yang dalam.
Dalam hal ini anggap saja seperti puisi kuliner, kita
makan makanan lengkap meski ada daging dan lauk lainnya, namun tidak terasa daging,
tidak terasa garam namun sudah bercampur menjadi satu rasa yang enak, begitu
pula dengan batin kita. Di Indonesia, menurut Gerson Poyk, penyair
puisi-puisinya sangat kuat adalah Leon Agusta.
Beberapa puisi yang
indah seperti puisi Haiku Jepang yang menggambarkan seekor katak melompat di
kolam, meski puisi itu hanya singkat, lingkaran air yang terbentuk dari air di
kolam itu memberi makna puitis yang dalam. Puisi
sesungguhnya harus ada logika rasional, logika imajinal, dan naluri-naluri
bawah sadar. Dalam puisi tidak boleh hanya ‘sadar’ saja, seperti puisi politik,
namun harus ada pathos atau perasaan yang menemukan simpati, antipati,
kemerduan bunyi pada kata dan getaran batin. Semoga makna puisi yang tercetus
di dalam larik demi larik menjadi puisi terindah bagi batin yang membuatnya.
Demikian pandangan Bapak
perihal puisi yang dituturkan secara sederhana, tidak
dengan teori perpuisian yang bikin rambut rontok dan kepala cepat botak. Hujan pun telah berganti jadi
gerimis, ketika obrolan kami berhenti. Semoga Bapak damai di sisi-Nya. Salam puisi.
15 Oktober 2017
Baca Juga:
Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia - Herman Syahara
Alamat Email Media Massa yang Memuat Karya Sastra
Merdeka! Ah Mosok? - A Slamet Widodo