Mercusuar, Lampu Mercusuar dan Indonesia yang Paradoks - Alexander Aur
Mercusuar,
Lampu Mercusuar dan Indonesia yang Paradoks
Catatan Kecil untuk Antologi Puisi Kita adalah Indonesia
Oleh Alexander
Aur*
Entah apalah istilah yang pas untuk sekelompok orang, yang dengan daya puitis dalam dirinya, bersama-sama menulis puisi tentang Indonesia hari ini. Entah mewakili suasana batin seperti apalah isi dari puisi-puisi yang mereka tulis. Beragam jawaban dapat dan boleh diberikan untuk dua pertanyaan itu. Tetapi ada dua hal yang jelas. Pertama, menulis puisi tentang Indonesia hari ini adalah sebuah pilihan dan sikap berani dan mengasihi. Mengapa demikian? Ada alasannya dalam uraian setelah ini. Kedua, Indonesia hari ini adalah sebuah paradoks. Mengapa paradoks? Akan ada pula alasannya dalam uraian berikut.
Pokok-pokok persoalan, yakni keberanian dan paradoks akan diuraikan di bawah ini. Dalam uraian berikut ini, pertama-tama saya akan menjelaskan perihal keberanian, dengan mengacu pada tesis dasar ini: dalam berkebudayaan diperlukan pula keberanian dan kasih sayang. Tesis ini akan saya elaborasi dengan menggunakan perspektif filosof Yuani Kuno Platon tentang beberapa keutamaan penting, yakni keberanian, kasih sayang, keugaharian, dan kebijaksanaan. Perspektif Platon tersebut saya tempatkan dalam perbincangan tentang aktivitas berkebudayaan para penyair.
Selanjutnya, saya menarik garis hubung dan relavansi dari keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan dengan Indonesia yang paradoks. Tarikan hubungan dan relevansi ini merupakan penegasan bahwa dengan keberanian, kasih sayang dan keugaharian, siapapun dapat tetap berkebudayaan dalam situasi paradoks. Justru karena paradoks itulah diperlukan sikap keberanian, keteguhan hati dan kasih sayang untuk tetap berkebudayaan dengan cara menulis puisi tentang Indonesia.
Dengan kata lain, keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan di tengah situasi paradoks bertujuan agar siapapun tidak diombang-ambingkan oleh watak paradoks dan tidak jatuh dalam jalan ekstrim tertentu. Orang yang menghayati keutamaan keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan di tengah situasi paradoks laksana mercusuar dan lampu mercusuar. Mercusuar terus-menerus berdiri tegar (berani) di tengah hempasan badai dan perubahan cuaca. Lampu mercusuar terus-menerus menyala agar menjadi panduan (kasih sayang) di malam hari, agar kapal-kapal (manusia) agar tidak karam. Puisi-puisi dan orang-orang, yang dengan daya puitis dalam dirinya, yang menuliskan puisi dan puisi-puisinya dibukukan dalam antologi ini, merupakan mercusuar dan lampu mercusuar di tengah Indonesia yang paradoks. Beberapa puisi yang diulas dalam tulisan kecil ini, merupakan puisi-puisi yang mengindikasikan keutamaan keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan.
Keberanian, Kasih Sayang, Keugaharian dalam Berkebudayaan
Dengan perangkat apa dalam dirinnya manusia membangun kebudayaan? Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita temukan secara umum melalui berbagai sudut pandang yang beroperasi di balik definisi-definisi tentang budaya. Definisi deskriptif cenderung memandang budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah bidang yang membentuk budaya. Definisi historis melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Definisi normatif memandang budaya dari dua sisi pandang, yakni budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan konkret; serta budaya sebagai hal yang mengedepankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku. Definisi psikologis tentang budaya memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecah masalah yang memungkinkan orang dapat berkomunikasi, belajar, dan memenuhi kebutuhan material serta emosional. Definisi struktural menunjuk budaya dengan fokus pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya merupakan abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret. Definisi genetis memandang budaya dengan fokus pada kebertahanan budaya. Dalam definisi ini, budaya merupakan anak dari interaksi antar-manusia dan tetap bertahan karena ada transmisi dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.[1]
Dari berbagai sudut pandang yang beroperasi dalam definisi tentang budaya tersebut, kita bisa menarik sebuah kesimpulan umum bahwa manusia (kita) membangun dan mengembangkan kebudayaan dengan seluruh perangkat dalam dirinya: pikiran, perasaan, dan tubuh. Kita mengerahkan pikiran, perasaan, tubuh untuk membangun dan mengembangkan kebudayaan. Dengan mengerahkan seluruh perangkat dalam dirinya, maka kebudayaan bersifat aktif, yakni manusia berkebudayaan. Oleh karenanya, kebudayaan merupakan actus humanus (kegiatan khas manusia sepanjang hidupnya).
Berkebudayaan sebagai actus humanus mengindikasikan pula satu aspek yang berkelindan dalam perangkat-perangkat antropologis diri manusia, yakni keberanian. Keberanian berkelindan dalam pikiran, perasaan, dan tubuh manusia. Perihal keberanian ini dapat kita simak pada pemikiran Platon tentang manusia dan pendidikan dalam konteks hidup bernegara.[2] Bagi Platon, diri manusia terdiri atas tiga partisi jiwa (psukhe), yakni logistikon (rasio), thumos (perasaan), dan epithumia (hasrat).[3] Ketiga jiwa itu berurusan dengan pencapaian keutamaan (arete). Keutamaan yang mau dicapai oleh jiwa logistikon adalah keugaharian, keberanian, dan kebijaksanaan. Keutamaan yang mau dicapai oleh jiwa thumos adalah keugaharian dan keberanian. Sedangkan keutamaan yang mau dicapai oleh epithumia adalah keugaharian.
Dalam konteks hidup bersama sebagai warga negara (polis), tiga partisi jiwa itu melekat pada tiga golongan warga polis. Jiwa epithumia melekat pada golongan petani dan pedagang. Mereka ini mengusahakan pangan yang dibutuhkan warga polis. Jiwa thumos melekat pada golongan para penjaga (tentara). Mereka ini mengusahakan keamanan bagi warga polis. Jiwa logistikon melekat pada kaum penguasa, yakni filsuf ratu dan filsuf raja. Mereka memimpin polis dengan mengakarkan kepemimpinannya pada kebijaksanaan.
Setiap golongan warga polis tersebut menjalankan perannya masing-masing dalam hidup bersama. Dengan begitu, kebahagiaan dan keadilan dapat tercapai. Menurut Platon, seperti yang dikemukakan oleh A. Setyo Wibodo, negara akan Adil, dalam arti membahagiakan, ketika setiap orang – sesuai golongan/kelas – melakukan apa yang terbaik yang harus ia lakukan bagi polis. Motifasi paling dasar dari setiap orang manakala melakukan kegiatan sesuai dengan kodrat khasnya adalah melakukan yang terbaik bagi polis. Itu juga berarti, kodrat khasnya bukan bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan untuk kehidupan bersama.
Dalam konteks zaman ini, ketika ada orang-orang yang memiliki daya puitis dalam dirinya dan secara serius dan penuh komitmen menulis puisi, maka sangat mungkin bahwa orang-orang yang demikian memiliki kodrat khas sebagai penyair. Mereka menjalankan fungsi kodratinya dengan menulis puisi-puisi tentang apa saja, termasuk puisi-puisi mengenai kehidupan bersama sebagai warga bangsa dan negara. Sudah barang tentu, puisi-puisi yang mereka tulis merupakan representasi dari keterlibatan mereka dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, muara akhir dari puisi-puisi yang mereka tulis bertujuan untuk kehidupan bersama sebagai warga bangsa dan negara. Dengan demikian, berpuisi (menulis puisi) adalah hal terbaik yang penyair lakukan bagi negara-bangsa.
Di atas sudah disampaikan bahwa tiga partisi jiwa manusia mengarah pada pencapaian keutamaan (arete). Pada partisi jiwa logistikon dan thumos, ada keutamaan keberanian yang harus dicapai. Hal itu mengindikasikan bahwa manusia yang berjiwa logistikon dan thumos harus mengarahkan dirinya pada keutamaan keberanian. Cara apa yang harus dilakukan supaya jiwa logistikon dan thumos mencapai keutamaan keberanian? Platon memberi perhatian khusus pada logistikon dan thumos ini dalam konteks menghadirkan pemimpin negara (polis). Negara memerlukan pemimpin yang memiliki keutamaan kebijaksanaan. Dengan keutamamaan itu, pemimpin mampu memimpin semua warga polis untuk mencapai kebahagiaan dan keadilan.
Supaya negara memiliki pemimpin yang memiliki keutamaan kebijaksanaan, maka orang-oprang yang berbakat menjadi pemimpin harus dididik. Platon memang menekankan bahwa pemimpin negara datang dari kelas penjaga (tentara). Orang-orang tertentu dari kelas itu yang mempunyai bakat (kodrat) sebagai pemimpin, harus dididik dengan kurikulum yang berisi pendidikan gimnastik dan pendidikan kesenian. Pendidikan gimnastik bertujuan mengasah calon pemimpin agar mempunyai keutamaan keberanian. Pendidikan kesenian bertujuan mengasah calon pemimpin agar mempunyai keutamaan kasih sayang. Dengan demikian, ketika calon tersebut menjadi pemimpin, ia mempin negara dengan keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang. Keberanian tanpa kasih sayang hanya akan menjadi horor dan teror hal-hal baik. Kasih sayang tanpa keberanian hanya akan menjadi permisif terhadap hal-hal buruk. Keberanian dan kasih sayang adalah keutamaan yang harus ada dalam diri pemimpin negara.
Demokrasi merupakan model berpolitik Indonesia. Artinya, setiap warga negara Indonesia, memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengambil peran publik sebagai pemimpin bangsa dan negara. Tetapi masih tersisa persoalan, yakni bagaimana pola dan proses pendidikan terhadap setiap warga Indonesia? Apa isi (materi) pendidikan yang diterima warga Indonesia? Mengacu pada gagasan Platon di atas, setiap warga negara harus menerima pendidikan yang kurikulumnya berisi gimnastik dan kesenian. Dengan kurikulum yang demikian, supaya setiap warga Indonesia yang berbakat sebagai pemimpin dan kelak dipilih sebagai pemimpin melalui pemilihan umum, ia menjadi pemimpin yang menghayati keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang terhadap warganya. Ia berani menegakkan keadilan sekaligus ia mengasihi dan menyayangi warga yang dipimpinnya. Ia berani dan bersikap tegas menolak (meminimalisir-menghapus) segala hal yang merusak manusia (warga) dan kehidupan bersama. Ia juga membela dan mengasihi warga yang mengalami penindasan.
Hubungan yang erat antara keutamaan keberanian, keutamaan kasih sayang, dan keutamaan keugaharian tersebut, menjadi inspirasi dan pijakan bagi warga Indonesia dalam berkebudayaan, khususnya para penulis puisi. Menulis puisi merupakan aktivitas berkebudayaan. Dalam menulis puisi, para penyair mengerahkan seluruh dirinya: pikiran, perasaan, dan tubuhnya agar menghasilkan puisi-puisi yang bermutu, untuk menopang warga masyarakat agar mampu hidup bersama sebagai warga masyarakat (negara dan bangsa). Itu berarti, para penyair tidak dapat tidak, menghayati keutamaan keberanian dan kasih sayang. Para penulis puisi adalah mercusuar dan lampu mercusuar dalam berkebudayaan.
Dalam konteks mendidik warga negara – dan kelak warga yang berbakat sebagai pemimpin, akan dipilih sebagai pemimpin bangsa dan negara – penyair dan puisi-puisi yang memiliki peran dan fungsi yang amat penting. Penyair adalah pendidik yang menulis puisi. Puisi-puisi yang berisi keutamaan-keutamaan keugaharian, keberanian, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Puisi-puisi yang demikian berfungsi sebagai pengarah (mengarahkan) jiwa (epithumea, thumos, dan logistikon) warga negara keutamaan-keutamaan yang terkandung didalamnya.
Puisi-puisi untuk Indonesia yang Paradoks
Jika Platon mengatakan bahwa golongan tentara dididik dengan kurikulum gimnastik agar memiliki keutamaan keberanian dan kesenian (termasuk sastra di dalamnya) agar para tentara memiliki keutamaan kasih sayang, lalu bagaimana cara penyair mendidik warga negara dengan puisi-puisinya, agar warga negara memiliki keberanian? Bukankah puisi (kesenian) hanya berurusan dengan keutamaan kasih sayang dan kelembutan hati? Sudah dijelaskan di atas, bahwa keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang merupakan dua hal yang saling terkait. Bahkan diperlukan pula keutamaan keugaharian karena semua manusia dalam dirinya terkandung tiga partisi jiwa. Dengan kata lain, keberanian, kasih sayang dan keugaharian merupakan keutamaan-keutamaan dasar yang tidak dapat dielakkan oleh para penyair manakala menulis puisi dan tidak boleh tidak ada dalam isi setiap puisi. Puisi yang hanya berisi keutamaan keberanian tidak lebih dari propaganda. Puisi yang hanya berisi keutamaan kasih sayang tidak lebih dari keluhan dan keputusasaan. Puisi hanya berisi keugaharian tidak lebih dari ketakutan.
Kesalingterkaitan antar-keutamaan: keberanian, kasih sayang, keugaharian, diperlukan untuk Indonesia yang paradoks. Perihal Indonesia yang paradoks, tampak melalui fakta mengenai Indonesia sebagai bangsa[4] dan negara. Dalam Indonesia sebagai sebuah negara terdapat berbagai agama dan budaya. Itu berarti dalam diri setiap orang Indonesia, terkandung tiga status kewargaan: warga negara, warga agama, dan warga budaya.
Yang dimaksudkan dengan status kewargaan adalah kelekatan diri seseorang dengan sistem nilai yang menjadi prinsip dan panduan hidup dalam institusi sosial-politik atau komunitas manusia tertentu. Seseorang atau sekelompok orang menjadi warga agama tertentu karena ia/mereka melekatkan diri atau dirinya/diri mereka dilekatkan pada agama tertentu. Alat pelekatnya adalah sistem nilai dan struktur institusional. Kelekatan dan pelekatan diri yang demikian berlangsung pula dalam negara maupun budaya. Kelekatan dan pelekatan itu bersifat mengikat. Artinya seseorang sulit melepaskan dirinya dari kelekatan dan pelekatan yang demikian.
Setiap orang Indonesia adalah warga negara, warga agama, dan warga budaya. Mengingat pelekat status kewargaannya adalah sistem nilai dan struktur institusional, maka status kewargaannya menyentuh pula lewel wawasan dunia (cara berpikir). Dalam diri setiap orang Indonesia, beroperasi tiga wawasan dunia, yakni wawasan dunia negara, agama, dan budaya. Wawasan dunia negara terbentuk dari filsafat negara-bangsa. Untuk Indonesia, wawasan dunia para warga negara adalah wawasan dunia Pancasila. Wawasan dunia agama terbentuk dari ajaran-ajaran agama (doktrin dan hukum agama). Wawasan dunia budaya terbentuk oleh nilai-nilai kultural yang terkandung dalam setiap budaya.
Dengan beroperasinya tiga wawasan dunia tersebut dalam diri setiap orang Indonesia, maka setiap orang Indonesia senantiasa berada dalam situasi paradoksal. Setiap orang Indonesia, di satu sisi menjalankan hidup dan tindakannya berdasarkan wawasan dunia negara, dan bersamaan dengan itu, ia juga ditarik ke dalam agama dan budayanya agar hidup dan tindakannya sesuai dengan wawasan dunia agama dan budaya. Setiap meskipun berada dalam situasi paradoks, tetapi tetap menjalankan itu sebagai bagian integral dari dirinya.
Banyak orang Indonesia berusaha menjalankan situasi paradoks itu secara integratif. Untuk mereka menyelaraskan ketiga wawasan dunia tersebut dengan tidak mendudukkan ketiganya secara subordinatif. Penyelarasan itu dapat terjadi karena mereka melihat bahwa dari ketiga wawasan dunia itu, ada prinsip-prinsip universal tertentu yang sama. Prinsip-prinsip universal sebetulnya sudah tampak dalam perspektif Platon yang telah diulas di atas. Keadilan dan kebahagiaan merupakan dua prinsip universal, yang menjadi muara dari tiga partisi jiwa. Artinya, baik logistikon, thumos, maupun epithumia yang diarahkan melalui pendidikan agar mencapai keutamaan keberanian, keugaharian, kasih sayang, serta kebijaksanaan, akan bermuara pada tujuan akhir yakni terwujudnya keadilan dan kebahagiaan dalam hidup bersama di polis. Perihal tujuan akhir itu, juga diperjuangkan oleh negara, agama, dan budaya. Dengan demikian, integrasi satu sama lain merupakan langkah bijaksana dalam situasi paradoks.
Tetapi ada pula orang-orang Indonesia yang mengalami konflik wawasan dunia. Konflik terjadi karena pendudukan wawasan dunia secara subordinatif. Dalam pendudukan yang demikian, salah satu wawasan dunia ditempatkan lebih tinggi di atas wawasan dunia lain. Bahkan wawasan dunia yang lebih tinggi itu berwatak menghapus wawasan dunia yang di bawahnya. Tetapi bersamaan dengan itu, wawasan dunia yang berada di bawah tidak mempan dan tidak mau terhadap penghapusan. Dalam situasi yang ekstrim, konflik wawasan dunia terwujud secara verbal dalam kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan virtual. Terorisme berbasis agama yang marak terjadi di Indonesia, merupakan salah satu wujud konkrit mengenai konflik wawasan dunia. Juga merupakan wujud konkrit dari ketaksanggupan mengupayakan integrasi di satu sisi dan tetap eksis dalam situasi paradoks di sisi lain.
Indonesia sebagai sebuah sistem politik dengan wawasan dunia Pancasilanya merupakan sebuah paradoks. Artinya, Pancasila merupakan wawasan dunia yang mempersatukan berbagai wawasan dunia lain (agama dan budaya) yang terkandung dalam Indonesia. Tetapi Pancasila tidak menghapus wawasan dunia lain, tidak menaklukkan wawasan dunia lain. Dengan kata lain, Indonesia merupakan negara persatuan, tetapi bersamaan dengan itu Indonesia tetap memberikan ruang dan waktu yang sangat luas kepada setiap wawasan dunia lain (agama dan budaya) tetap eksis. Itu berarti Indonesia, selain merupakan sebuah paradoks, juga berada dalam situasi paradoks. Jadi, Indonesia mengandung dalam dirinya paradoks ganda: paradoks itu sendiri dan berada dalam situasi paradoks.
Dalam Indonesia yang demikian, posisi penyair dan puisi-puisinya yang termaktub dalam antologi ini dapat dibaca (dimaknai). Antologi puisi ini berjudul Kita adalah Indonesia. Sudah barang tentu, ada argumentasi tertentu di balik pemberian judul tersebut. Tetapi kalau konsisten dengan Indonesia yang mengandung paradoks ganda tersebut, mestinya antologi ini berjudul Indonesia adalah Kita. Mengapa? Beberapa alasan berikut menjad jawabannya.
Pertama, refleksi tentang Indonesia hari ini, khususnya melalui puisi, sesungguhnya merupakan refleksi tentang manusia Indonesia. Dalam konteks sejarah berdirinya Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state), kita mengerti bahwa anusia Indonesialah yang membentuk Indonesia. Sumpah Pemuda 1908 merupakan salah satu penanda historis yang menunjukkan bahwa Indonesia dibentuk dan dibangun oleh manusia Indonesia. Penanda historis itu oleh Soekarno – seperti yang dikutip oleh Y.B. Mangunwijaya – dinyatakan sebagai sebuah keputusan untuk mengidentifikasikan diri sebagai bangsa Indonesia yang didasarkan pada hasrat untuk menyatukan diri (le désire d’ensemble).[5]
Kedua, berbagai konflik sosial di Indonesia pasca-Orde Baru seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan berbagai teror bom berlatar agama merupakan cerminan dari pergulatan manusia Indonesia dalam kerangka membentuk geososial Indonesia yang ideal. Itu bukan berarti bahwa konflik dibutuhkan untuk mencapai suatu kondisi geososial ideal. Sebaliknya, orang-orang Indonesia – yang berada dalam budaya dan agama tertentu – terus-menerus mengupayakan sebuah bentuk geososial Indonesia yang ideal, terus-menerus mengupayakan suatu ruang sosial bersama ideal. Dalam geososial-ruang sosial yang demikian, setiap orang dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda-beda saling menunjang satu sama lain, seraya tetap memikul perbedaan-perbedaan yang melekat padanya.
Perkara geososial Indonesia merupakan perkara yang tak pernah selesai. Manusia Indonesia terus-menerus mengupayakan suatu relasi sosial manusia lintas pulau, lintas budaya, lintas agama, sehingga tidak terjadi lagi konflik antar-suku dan agama. Geososial yang ideal tampak dalam contoh ini: orang Aceh dapat tinggal dengan aman dan damai di NTT; orang Sunda dapat tinggal dan menjalankan hidupnya bersama orang-orang Papua di Papua; orang NTT dapat hidup dan tinggal bersama-sama secara damai dengan orang-orang Kalimantan di Kalimantan, dsb.
Ketiga, dalam konteks keberadaan diri manusia Indonesia sebagai warga negara ini, negara Indonesia yang berideologikan Pancasila sesungguhnya sudah selesai dan final. Yang menjadi persoalannya adalah menjadi manusia Indonesia tidak pernah selesai. Menguatnya sentimen agama akhir-akhir ini, yang tampak dalam radikalisme agama dengan maksud mengganti Pancasila dengan ideologi lain secara formal melalui konstitusi dan produk hukum lainnya, merupakan fenomena yang menyingkapkan persoalan tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pancasila sudah selesai. Tetapi yang belum selesai (bahkan tak pernah selesai) adalah menjadi manusia NKRI Pancasila.
Terlepas dari persoalan judul antologi ini, beberapa puisi dalam antologi ini sungguh-sungguh mencerminkan pergulatan manusia Indonesia perihal keindonesiaannya. Pergulatan para penyair akan keindonesiaannya, yang terepresentasikan dalam puisi-puisinya merupakan suatu sikap berkebudayaan yang mengandung keberanian dan kasih sayang, bahkan keugaharian. Di tengah banyak orang Indonesia yang masa bodoh dengan keindonesiaannya, di tengah segelintir orang yang bernafsu menggantikan keindonesiaan yang Pancasila dengan keindonesiaan yang berasaskan nilai agama tertentu, para penyair dan puisi-puisinya dalam antologi ini, hadir dengan keutamaan keberanian, kasih sayang dan keugaharian. Mereka berani menegaskan pergulatannya mengenai keindonesiaan.
Dengan penuh kasih sayang akan Indonesia dan manusia Indonesia, mereka menunjukkan sikapnya secara puitis atas Indonesia dan manusia Indonesia. Dengan keugaharian, kerendahan hati, mereka menyatakan secara puitis bahwa supaya sungguh-sungguh dan mampu menjadi manusia Indonesia dalam Indonesia yang paradoks ini, diperlukan pula keutamaan keugaharian, pengosongan diri dari egoisme ekstrim atau komunalisme ekstrim. Mereka juga menyatakan bahwa menjadi orang Indonesia yang sesungguhnya berarti berani melawan arus umum yang salah.
Corak pergulatan yang demikian itu tampak dalam puisi Eka Budianta. Penyair ini menunjukkan pergulatannya akan keindonesia dengan menunjukkan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh empat tokoh bangsa Indonesia, yakni Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam puisi berjudul “Manusia Durian” berikut ini:
Manusia Durian
Durian tidak bermaksud mengganggu siapa pun.
Ia hanya ingin menjadi yang paling baik, paling berkualitas,
dengan aroma menyebar ke seluruh dunia.
Terapi beberapa orang menjadi pusing, mual,
muntah-muntah bahkan pingsan, meski pura-pura.
Apakah durian harus dilenyapkan dari muka bumi?
Ah – hanya seorang Basuki Tjahaya Purnama,
Pramoedya Ananta Toer – juga banyak musuhnya.
Atau Gus Dur, bahkan Bung Karno – yang sering dihujat,
dan mungkin juga ayahmu, atau kamu sendiri.
Semua sudah diciptakan dan mendapat apresiasi terbaik.
Terima kasih.
(2017)
Dalam sejarah republik ini, keempat orang ini adalah sosok-sosok yang sungguh-sungguh bergulat dengan keindonesiaan. Mereka adalah orang-orang yang tanpa pamrih (ugahari) mengupayakan Indonesia sungguh-sungguh menjadi tanah air yang ideal, meskipun mereka harus berhadapan dengan sebagian besar orang Indonesia yang bertentangan dengan mereka.
Penyair Eka Budianta memetaforakan empat tokoh bangsa Indonesia tersebut sebagai (manusia) durian. Secara jeli penyair menggambarkan empat keutamaan (keberanian, kasih sayang, keugaharian, dan kebijaksanaan) dalam diri empat tokoh bangsa tersebut. Mereka berani menyuarakan hal yang benar tentang Indonesia, yang didorong oleh keutamaan kasih sayang mereka terhadap Indonesia dan manusia Indonesia. Kalau kita membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, dengan mudah kita memperoleh kecintaannya terhadap Indonesia dan manusia Indonesia. Untuk itu, segala bentuk penjajahan dan imperialisme harus ditolak dengan sikap berani.[6] Demikian pula Gus Dur dan Ahok (Basuki Tjahaya Purnama), dengan berani mereka melawan segala bentuk penindasan.
Penyair Eko Kuntadhi mengedepankan pergulatannya tentang ke-Indonesiaan secara jenaka dengan menyodorkan kepada kita, apa yang disebut oleh Platon sebagai epithumia (nafsu-nafsu) yang digandrungi oleh manusia Indonesia. Mari simak puisi berjudul “Nonton TV” berikut.
Nonton TV
Saya duduk berdua dengan Ibu Pertiwi di ruang keluarga
Dia sedang menjahit bendera yang koyak
Dan saya menyaksikan berita demi berita dari stasiun TV.
"Siapa lagi yang mau menjahitkan bendera yang koyak ini. Anak-anak sekarang
mungkin seumur hidupnya tidak pernah memasukkan benang ke lubang jarum,"
dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
Saya menangkap helaan nafas tipis. Lalu mencomot nastar.
Televisi menyiarkan berita para politisi yang sibuk melindungi diri. Mereka ingin
menelanjangi KPK.
"Bu, mengapa mereka begitu?"
"Sejak kecil mereka memang selalu kelaparan. Dulu dia makan nasi dan sayur.
Ketika besar dia memakan apa saja. Gunung, meja, laut, sapi. Mereka juga doyan
mengunyah KTP," jawabnya. Lalu dia kembali terpaku dengan pekerjaanya.
Televisi menyajikan berita seorang kakek yang mulutnya celemotan. Dia seperti
kecewa dengan hidupnya lalu menyemburkan kekecewaan dengan cara
menghardik orang lain. Seingatku di masa muda, kakek itu penuh elan perjuangan.
"Kenapa dia berubah, bu?"
"Manusia, nak, seringkali tidak otentik. Dia berbuat dan bicara sesuai keinginan
dan lingkungannya. Bukan nilai yang ditentengnya. Tapi kedengkian yang
dipanggulnya."
Saya hanya diam. Kadang saya memang tidak memahami jawaban-jawabannya.
Sementara televisi terus saja menyemburkan berita.
Orang-orang penuh kemarahan mencaki maki bangsanya sendiri.
Mereka mencela
semuanya yang tidak sepaham. Mereka benci dengan Pancasila. Membenci NKRI.
Bahkan membenci batik. Mereka mencemooh semua yang berbau Indonesia.
"Bu, siapa yang menghamilimu hingga lahir anak-anak seperti itu? Mereka seperti
membenci dirinya sendiri. Mereka seperti muak dengan darahnya sendiri?"
Ibu Pertiwi yang semula serius menjahit, tetiba mengangkat wajahnya. Dia
menatapku dengan pandangan yang entah apa maknanya. Lalu dia membuang
muka, mengalihkan pandangan ke jendela.
Matanya menerawang seperti sedang mencari-cari file yang hilang dalam
ingatan.
"Malam itu, bapak pulang dalam keadaan mabuk. Dari nafasnya ibu melihat
ratusan kecoa berhamburan. Matanya merah dan badannya bau got," dia
membuka cerita.
"Bapak mendatangi ibu seperti sapi yang sedang birahi."
"Apakah ibu menikmatinya?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku tahu ada guratan pedih melintas di
wajahnya.
"Sembilan bulan kemudian ibu melahirkan. Itulah mereka. Anak-anak yang tidak
mencintai rumahnya sendiri. Orang-orang yang tidak percaya diri sebagai bangsa
Indonesia."
Lalu dia bangkit dari duduknya. Berjalan ke kamarnya. Begitu keluar dia sudah
mengganti kebayanya dengan stelan training pack. Lengkap dengan sepatu lari.
"Ibu mau jongging dulu."
"Bu... nanti pulangnya titip bubur ayam, ya..."
Dalam dialog antara “saya” dan “Ibu Pertiwi” pada puisi tersebut, Ibu Pertiwi menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia yang hidup berdasarkan nafsu-nafsu (epithumia). Nafsu-nafsunya tidak diarahkan pada keutamaan keugaharian, melainkan hidupnya dikendalikan oleh nafsu-nafsu. Orang-orang Indonesia yang demikian, justru merupakan orang-orang yang tidak percaya diri sebagai bangsa Indonesia. Orang-orang seperti itulah yang membenci NKRI, membenci Pancasila, dan mencemooh semua hal yang berbau Indonesia. Sungguh paradoks: mereka tinggal dan hidup di Indonesia tetapi mencemooh semua hal yang berbau Indonesia.
Penyair Kurnia Effendi menunjukkan pergulatannya tentang keindonesiaan dengan puisinya berjudul “Mencari Indonesia”. Mari simak puisi tersebut di bawah ini.
Mencari Indonesia
Jauh menempuh jarak dan waktu. Jauh meninggalkan kekasih dan kesayangan.
Jauh meninggalkan tanah kelahiran dan tanah kehidupan. Jauh meninggalkan
wilayah yang berderak nyaris remuk oleh kaum yang sedang bertikai agama dan
demokrasi. Jauh meninggalkan pekerjaan yang tak kunjung rampung.
Ke mana langkahku?
Aku – astaga – mencari Indonesia ke negeri kompeni. Aku terbang melintas
kontinen ke Negeri van Oranye. Aku ziarah rempah ke negeri mantan penjajah.
Aku menjadi pengembara dengan uang negara. Aku menuntut ilmu dari buku
buku. Aku tetirah memunguti remah sejarah. Aku tertawan di ruang-ruang
perpustakaan.
Aku ke Leiden mencari Indonesia
Di lubuk arsip lebih satu abad, kuraba kertas buatan Eropa tempat Raden Saleh
menggurat aksara, sebuah pesan dan permintaan untuk yayasan, dimulai dengan:
Jang terhormat dan tjinta. Ada sedikit kelip cahaya pada lorong waktu yang
memanjang ke tilas masa silam.
Di genangan kenangan lebih setengah abad, tersimpan tulisan tangan guru-guru
besarku yang telah menjadi debu dalam peristirahatan. Mochtar Apin. Hatiku
terpilin. Ahmad Sadali. Rinduku menjadi-jadi. Angkama. Terasa jiwaku
berkelana. But Mochtar. Tak ada yang sanggup meredakan getar.
Aku memasuki Indonesia, negeri tropis, di ruang terang Belanda, negeri empat
musim
Leiden, 15 Juli 2017
Penyair Kurnia Effendi menempuh cara “mencari Indonesia di Leiden” sebagai wujud dari pergulatannya akan keindonesiaan. Dalam puisi tersebut, justru ia mengakui dengan jujur bahwa ia menemukan remah-remah sejarah Indonesia di negeri Belanda. Justru karena ia mengasihi Indonesia, maka ia rela mencari Indonesia sampai ke negeri oranye. Mengapa harus ke sana? Ya, karena di Leiden, riwayat tentang Indonesia, riwayat tentang orang-orang yang telah bersusah payah membentuk Indonesia, dapat ditemukan olehnya.
Para penyair dan puisi-puisi dalam antologi ini menjadi mercusuar dan lampu mercusuar yang memandu warga bangsa Indonesia untuk terus-menerus memupuk komitmen merawat Indonesia yang berkeutamaan nilai-nilai Pancasila. Puisi-puisi dalam antologi ini juga merupakan wujud dari keutamaan-keutamaan: keugaharian, kasih sayang, keberanian, dan kebijaksanaan yang dihayati oleh para penyair dalam berkebudayaan. Aktivitas berkebudayaan mereka merupakan pergulatan mereka akan keindonesiaan dan komitmen mereka terhadap Indonesia yang berkeutamaan Pancasila.
Pada akhirnya: Merdeka!! Berjayalah Indonesia yang ber-Pancasila.
Medang Lestari, Tangerang, Banten, akhir Juli 2017
Pokok-pokok persoalan, yakni keberanian dan paradoks akan diuraikan di bawah ini. Dalam uraian berikut ini, pertama-tama saya akan menjelaskan perihal keberanian, dengan mengacu pada tesis dasar ini: dalam berkebudayaan diperlukan pula keberanian dan kasih sayang. Tesis ini akan saya elaborasi dengan menggunakan perspektif filosof Yuani Kuno Platon tentang beberapa keutamaan penting, yakni keberanian, kasih sayang, keugaharian, dan kebijaksanaan. Perspektif Platon tersebut saya tempatkan dalam perbincangan tentang aktivitas berkebudayaan para penyair.
Selanjutnya, saya menarik garis hubung dan relavansi dari keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan dengan Indonesia yang paradoks. Tarikan hubungan dan relevansi ini merupakan penegasan bahwa dengan keberanian, kasih sayang dan keugaharian, siapapun dapat tetap berkebudayaan dalam situasi paradoks. Justru karena paradoks itulah diperlukan sikap keberanian, keteguhan hati dan kasih sayang untuk tetap berkebudayaan dengan cara menulis puisi tentang Indonesia.
Dengan kata lain, keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan di tengah situasi paradoks bertujuan agar siapapun tidak diombang-ambingkan oleh watak paradoks dan tidak jatuh dalam jalan ekstrim tertentu. Orang yang menghayati keutamaan keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan di tengah situasi paradoks laksana mercusuar dan lampu mercusuar. Mercusuar terus-menerus berdiri tegar (berani) di tengah hempasan badai dan perubahan cuaca. Lampu mercusuar terus-menerus menyala agar menjadi panduan (kasih sayang) di malam hari, agar kapal-kapal (manusia) agar tidak karam. Puisi-puisi dan orang-orang, yang dengan daya puitis dalam dirinya, yang menuliskan puisi dan puisi-puisinya dibukukan dalam antologi ini, merupakan mercusuar dan lampu mercusuar di tengah Indonesia yang paradoks. Beberapa puisi yang diulas dalam tulisan kecil ini, merupakan puisi-puisi yang mengindikasikan keutamaan keberanian dan kasih sayang dalam berkebudayaan.
Keberanian, Kasih Sayang, Keugaharian dalam Berkebudayaan
Dengan perangkat apa dalam dirinnya manusia membangun kebudayaan? Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita temukan secara umum melalui berbagai sudut pandang yang beroperasi di balik definisi-definisi tentang budaya. Definisi deskriptif cenderung memandang budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah bidang yang membentuk budaya. Definisi historis melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Definisi normatif memandang budaya dari dua sisi pandang, yakni budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan konkret; serta budaya sebagai hal yang mengedepankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku. Definisi psikologis tentang budaya memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecah masalah yang memungkinkan orang dapat berkomunikasi, belajar, dan memenuhi kebutuhan material serta emosional. Definisi struktural menunjuk budaya dengan fokus pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya merupakan abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret. Definisi genetis memandang budaya dengan fokus pada kebertahanan budaya. Dalam definisi ini, budaya merupakan anak dari interaksi antar-manusia dan tetap bertahan karena ada transmisi dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.[1]
Dari berbagai sudut pandang yang beroperasi dalam definisi tentang budaya tersebut, kita bisa menarik sebuah kesimpulan umum bahwa manusia (kita) membangun dan mengembangkan kebudayaan dengan seluruh perangkat dalam dirinya: pikiran, perasaan, dan tubuh. Kita mengerahkan pikiran, perasaan, tubuh untuk membangun dan mengembangkan kebudayaan. Dengan mengerahkan seluruh perangkat dalam dirinya, maka kebudayaan bersifat aktif, yakni manusia berkebudayaan. Oleh karenanya, kebudayaan merupakan actus humanus (kegiatan khas manusia sepanjang hidupnya).
Berkebudayaan sebagai actus humanus mengindikasikan pula satu aspek yang berkelindan dalam perangkat-perangkat antropologis diri manusia, yakni keberanian. Keberanian berkelindan dalam pikiran, perasaan, dan tubuh manusia. Perihal keberanian ini dapat kita simak pada pemikiran Platon tentang manusia dan pendidikan dalam konteks hidup bernegara.[2] Bagi Platon, diri manusia terdiri atas tiga partisi jiwa (psukhe), yakni logistikon (rasio), thumos (perasaan), dan epithumia (hasrat).[3] Ketiga jiwa itu berurusan dengan pencapaian keutamaan (arete). Keutamaan yang mau dicapai oleh jiwa logistikon adalah keugaharian, keberanian, dan kebijaksanaan. Keutamaan yang mau dicapai oleh jiwa thumos adalah keugaharian dan keberanian. Sedangkan keutamaan yang mau dicapai oleh epithumia adalah keugaharian.
Dalam konteks hidup bersama sebagai warga negara (polis), tiga partisi jiwa itu melekat pada tiga golongan warga polis. Jiwa epithumia melekat pada golongan petani dan pedagang. Mereka ini mengusahakan pangan yang dibutuhkan warga polis. Jiwa thumos melekat pada golongan para penjaga (tentara). Mereka ini mengusahakan keamanan bagi warga polis. Jiwa logistikon melekat pada kaum penguasa, yakni filsuf ratu dan filsuf raja. Mereka memimpin polis dengan mengakarkan kepemimpinannya pada kebijaksanaan.
Setiap golongan warga polis tersebut menjalankan perannya masing-masing dalam hidup bersama. Dengan begitu, kebahagiaan dan keadilan dapat tercapai. Menurut Platon, seperti yang dikemukakan oleh A. Setyo Wibodo, negara akan Adil, dalam arti membahagiakan, ketika setiap orang – sesuai golongan/kelas – melakukan apa yang terbaik yang harus ia lakukan bagi polis. Motifasi paling dasar dari setiap orang manakala melakukan kegiatan sesuai dengan kodrat khasnya adalah melakukan yang terbaik bagi polis. Itu juga berarti, kodrat khasnya bukan bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan untuk kehidupan bersama.
Dalam konteks zaman ini, ketika ada orang-orang yang memiliki daya puitis dalam dirinya dan secara serius dan penuh komitmen menulis puisi, maka sangat mungkin bahwa orang-orang yang demikian memiliki kodrat khas sebagai penyair. Mereka menjalankan fungsi kodratinya dengan menulis puisi-puisi tentang apa saja, termasuk puisi-puisi mengenai kehidupan bersama sebagai warga bangsa dan negara. Sudah barang tentu, puisi-puisi yang mereka tulis merupakan representasi dari keterlibatan mereka dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, muara akhir dari puisi-puisi yang mereka tulis bertujuan untuk kehidupan bersama sebagai warga bangsa dan negara. Dengan demikian, berpuisi (menulis puisi) adalah hal terbaik yang penyair lakukan bagi negara-bangsa.
Di atas sudah disampaikan bahwa tiga partisi jiwa manusia mengarah pada pencapaian keutamaan (arete). Pada partisi jiwa logistikon dan thumos, ada keutamaan keberanian yang harus dicapai. Hal itu mengindikasikan bahwa manusia yang berjiwa logistikon dan thumos harus mengarahkan dirinya pada keutamaan keberanian. Cara apa yang harus dilakukan supaya jiwa logistikon dan thumos mencapai keutamaan keberanian? Platon memberi perhatian khusus pada logistikon dan thumos ini dalam konteks menghadirkan pemimpin negara (polis). Negara memerlukan pemimpin yang memiliki keutamaan kebijaksanaan. Dengan keutamamaan itu, pemimpin mampu memimpin semua warga polis untuk mencapai kebahagiaan dan keadilan.
Supaya negara memiliki pemimpin yang memiliki keutamaan kebijaksanaan, maka orang-oprang yang berbakat menjadi pemimpin harus dididik. Platon memang menekankan bahwa pemimpin negara datang dari kelas penjaga (tentara). Orang-orang tertentu dari kelas itu yang mempunyai bakat (kodrat) sebagai pemimpin, harus dididik dengan kurikulum yang berisi pendidikan gimnastik dan pendidikan kesenian. Pendidikan gimnastik bertujuan mengasah calon pemimpin agar mempunyai keutamaan keberanian. Pendidikan kesenian bertujuan mengasah calon pemimpin agar mempunyai keutamaan kasih sayang. Dengan demikian, ketika calon tersebut menjadi pemimpin, ia mempin negara dengan keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang. Keberanian tanpa kasih sayang hanya akan menjadi horor dan teror hal-hal baik. Kasih sayang tanpa keberanian hanya akan menjadi permisif terhadap hal-hal buruk. Keberanian dan kasih sayang adalah keutamaan yang harus ada dalam diri pemimpin negara.
Demokrasi merupakan model berpolitik Indonesia. Artinya, setiap warga negara Indonesia, memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengambil peran publik sebagai pemimpin bangsa dan negara. Tetapi masih tersisa persoalan, yakni bagaimana pola dan proses pendidikan terhadap setiap warga Indonesia? Apa isi (materi) pendidikan yang diterima warga Indonesia? Mengacu pada gagasan Platon di atas, setiap warga negara harus menerima pendidikan yang kurikulumnya berisi gimnastik dan kesenian. Dengan kurikulum yang demikian, supaya setiap warga Indonesia yang berbakat sebagai pemimpin dan kelak dipilih sebagai pemimpin melalui pemilihan umum, ia menjadi pemimpin yang menghayati keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang terhadap warganya. Ia berani menegakkan keadilan sekaligus ia mengasihi dan menyayangi warga yang dipimpinnya. Ia berani dan bersikap tegas menolak (meminimalisir-menghapus) segala hal yang merusak manusia (warga) dan kehidupan bersama. Ia juga membela dan mengasihi warga yang mengalami penindasan.
Hubungan yang erat antara keutamaan keberanian, keutamaan kasih sayang, dan keutamaan keugaharian tersebut, menjadi inspirasi dan pijakan bagi warga Indonesia dalam berkebudayaan, khususnya para penulis puisi. Menulis puisi merupakan aktivitas berkebudayaan. Dalam menulis puisi, para penyair mengerahkan seluruh dirinya: pikiran, perasaan, dan tubuhnya agar menghasilkan puisi-puisi yang bermutu, untuk menopang warga masyarakat agar mampu hidup bersama sebagai warga masyarakat (negara dan bangsa). Itu berarti, para penyair tidak dapat tidak, menghayati keutamaan keberanian dan kasih sayang. Para penulis puisi adalah mercusuar dan lampu mercusuar dalam berkebudayaan.
Dalam konteks mendidik warga negara – dan kelak warga yang berbakat sebagai pemimpin, akan dipilih sebagai pemimpin bangsa dan negara – penyair dan puisi-puisi yang memiliki peran dan fungsi yang amat penting. Penyair adalah pendidik yang menulis puisi. Puisi-puisi yang berisi keutamaan-keutamaan keugaharian, keberanian, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Puisi-puisi yang demikian berfungsi sebagai pengarah (mengarahkan) jiwa (epithumea, thumos, dan logistikon) warga negara keutamaan-keutamaan yang terkandung didalamnya.
Puisi-puisi untuk Indonesia yang Paradoks
Jika Platon mengatakan bahwa golongan tentara dididik dengan kurikulum gimnastik agar memiliki keutamaan keberanian dan kesenian (termasuk sastra di dalamnya) agar para tentara memiliki keutamaan kasih sayang, lalu bagaimana cara penyair mendidik warga negara dengan puisi-puisinya, agar warga negara memiliki keberanian? Bukankah puisi (kesenian) hanya berurusan dengan keutamaan kasih sayang dan kelembutan hati? Sudah dijelaskan di atas, bahwa keutamaan keberanian dan keutamaan kasih sayang merupakan dua hal yang saling terkait. Bahkan diperlukan pula keutamaan keugaharian karena semua manusia dalam dirinya terkandung tiga partisi jiwa. Dengan kata lain, keberanian, kasih sayang dan keugaharian merupakan keutamaan-keutamaan dasar yang tidak dapat dielakkan oleh para penyair manakala menulis puisi dan tidak boleh tidak ada dalam isi setiap puisi. Puisi yang hanya berisi keutamaan keberanian tidak lebih dari propaganda. Puisi yang hanya berisi keutamaan kasih sayang tidak lebih dari keluhan dan keputusasaan. Puisi hanya berisi keugaharian tidak lebih dari ketakutan.
Kesalingterkaitan antar-keutamaan: keberanian, kasih sayang, keugaharian, diperlukan untuk Indonesia yang paradoks. Perihal Indonesia yang paradoks, tampak melalui fakta mengenai Indonesia sebagai bangsa[4] dan negara. Dalam Indonesia sebagai sebuah negara terdapat berbagai agama dan budaya. Itu berarti dalam diri setiap orang Indonesia, terkandung tiga status kewargaan: warga negara, warga agama, dan warga budaya.
Yang dimaksudkan dengan status kewargaan adalah kelekatan diri seseorang dengan sistem nilai yang menjadi prinsip dan panduan hidup dalam institusi sosial-politik atau komunitas manusia tertentu. Seseorang atau sekelompok orang menjadi warga agama tertentu karena ia/mereka melekatkan diri atau dirinya/diri mereka dilekatkan pada agama tertentu. Alat pelekatnya adalah sistem nilai dan struktur institusional. Kelekatan dan pelekatan diri yang demikian berlangsung pula dalam negara maupun budaya. Kelekatan dan pelekatan itu bersifat mengikat. Artinya seseorang sulit melepaskan dirinya dari kelekatan dan pelekatan yang demikian.
Setiap orang Indonesia adalah warga negara, warga agama, dan warga budaya. Mengingat pelekat status kewargaannya adalah sistem nilai dan struktur institusional, maka status kewargaannya menyentuh pula lewel wawasan dunia (cara berpikir). Dalam diri setiap orang Indonesia, beroperasi tiga wawasan dunia, yakni wawasan dunia negara, agama, dan budaya. Wawasan dunia negara terbentuk dari filsafat negara-bangsa. Untuk Indonesia, wawasan dunia para warga negara adalah wawasan dunia Pancasila. Wawasan dunia agama terbentuk dari ajaran-ajaran agama (doktrin dan hukum agama). Wawasan dunia budaya terbentuk oleh nilai-nilai kultural yang terkandung dalam setiap budaya.
Dengan beroperasinya tiga wawasan dunia tersebut dalam diri setiap orang Indonesia, maka setiap orang Indonesia senantiasa berada dalam situasi paradoksal. Setiap orang Indonesia, di satu sisi menjalankan hidup dan tindakannya berdasarkan wawasan dunia negara, dan bersamaan dengan itu, ia juga ditarik ke dalam agama dan budayanya agar hidup dan tindakannya sesuai dengan wawasan dunia agama dan budaya. Setiap meskipun berada dalam situasi paradoks, tetapi tetap menjalankan itu sebagai bagian integral dari dirinya.
Banyak orang Indonesia berusaha menjalankan situasi paradoks itu secara integratif. Untuk mereka menyelaraskan ketiga wawasan dunia tersebut dengan tidak mendudukkan ketiganya secara subordinatif. Penyelarasan itu dapat terjadi karena mereka melihat bahwa dari ketiga wawasan dunia itu, ada prinsip-prinsip universal tertentu yang sama. Prinsip-prinsip universal sebetulnya sudah tampak dalam perspektif Platon yang telah diulas di atas. Keadilan dan kebahagiaan merupakan dua prinsip universal, yang menjadi muara dari tiga partisi jiwa. Artinya, baik logistikon, thumos, maupun epithumia yang diarahkan melalui pendidikan agar mencapai keutamaan keberanian, keugaharian, kasih sayang, serta kebijaksanaan, akan bermuara pada tujuan akhir yakni terwujudnya keadilan dan kebahagiaan dalam hidup bersama di polis. Perihal tujuan akhir itu, juga diperjuangkan oleh negara, agama, dan budaya. Dengan demikian, integrasi satu sama lain merupakan langkah bijaksana dalam situasi paradoks.
Tetapi ada pula orang-orang Indonesia yang mengalami konflik wawasan dunia. Konflik terjadi karena pendudukan wawasan dunia secara subordinatif. Dalam pendudukan yang demikian, salah satu wawasan dunia ditempatkan lebih tinggi di atas wawasan dunia lain. Bahkan wawasan dunia yang lebih tinggi itu berwatak menghapus wawasan dunia yang di bawahnya. Tetapi bersamaan dengan itu, wawasan dunia yang berada di bawah tidak mempan dan tidak mau terhadap penghapusan. Dalam situasi yang ekstrim, konflik wawasan dunia terwujud secara verbal dalam kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan virtual. Terorisme berbasis agama yang marak terjadi di Indonesia, merupakan salah satu wujud konkrit mengenai konflik wawasan dunia. Juga merupakan wujud konkrit dari ketaksanggupan mengupayakan integrasi di satu sisi dan tetap eksis dalam situasi paradoks di sisi lain.
Indonesia sebagai sebuah sistem politik dengan wawasan dunia Pancasilanya merupakan sebuah paradoks. Artinya, Pancasila merupakan wawasan dunia yang mempersatukan berbagai wawasan dunia lain (agama dan budaya) yang terkandung dalam Indonesia. Tetapi Pancasila tidak menghapus wawasan dunia lain, tidak menaklukkan wawasan dunia lain. Dengan kata lain, Indonesia merupakan negara persatuan, tetapi bersamaan dengan itu Indonesia tetap memberikan ruang dan waktu yang sangat luas kepada setiap wawasan dunia lain (agama dan budaya) tetap eksis. Itu berarti Indonesia, selain merupakan sebuah paradoks, juga berada dalam situasi paradoks. Jadi, Indonesia mengandung dalam dirinya paradoks ganda: paradoks itu sendiri dan berada dalam situasi paradoks.
Dalam Indonesia yang demikian, posisi penyair dan puisi-puisinya yang termaktub dalam antologi ini dapat dibaca (dimaknai). Antologi puisi ini berjudul Kita adalah Indonesia. Sudah barang tentu, ada argumentasi tertentu di balik pemberian judul tersebut. Tetapi kalau konsisten dengan Indonesia yang mengandung paradoks ganda tersebut, mestinya antologi ini berjudul Indonesia adalah Kita. Mengapa? Beberapa alasan berikut menjad jawabannya.
Pertama, refleksi tentang Indonesia hari ini, khususnya melalui puisi, sesungguhnya merupakan refleksi tentang manusia Indonesia. Dalam konteks sejarah berdirinya Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state), kita mengerti bahwa anusia Indonesialah yang membentuk Indonesia. Sumpah Pemuda 1908 merupakan salah satu penanda historis yang menunjukkan bahwa Indonesia dibentuk dan dibangun oleh manusia Indonesia. Penanda historis itu oleh Soekarno – seperti yang dikutip oleh Y.B. Mangunwijaya – dinyatakan sebagai sebuah keputusan untuk mengidentifikasikan diri sebagai bangsa Indonesia yang didasarkan pada hasrat untuk menyatukan diri (le désire d’ensemble).[5]
Kedua, berbagai konflik sosial di Indonesia pasca-Orde Baru seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan berbagai teror bom berlatar agama merupakan cerminan dari pergulatan manusia Indonesia dalam kerangka membentuk geososial Indonesia yang ideal. Itu bukan berarti bahwa konflik dibutuhkan untuk mencapai suatu kondisi geososial ideal. Sebaliknya, orang-orang Indonesia – yang berada dalam budaya dan agama tertentu – terus-menerus mengupayakan sebuah bentuk geososial Indonesia yang ideal, terus-menerus mengupayakan suatu ruang sosial bersama ideal. Dalam geososial-ruang sosial yang demikian, setiap orang dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda-beda saling menunjang satu sama lain, seraya tetap memikul perbedaan-perbedaan yang melekat padanya.
Perkara geososial Indonesia merupakan perkara yang tak pernah selesai. Manusia Indonesia terus-menerus mengupayakan suatu relasi sosial manusia lintas pulau, lintas budaya, lintas agama, sehingga tidak terjadi lagi konflik antar-suku dan agama. Geososial yang ideal tampak dalam contoh ini: orang Aceh dapat tinggal dengan aman dan damai di NTT; orang Sunda dapat tinggal dan menjalankan hidupnya bersama orang-orang Papua di Papua; orang NTT dapat hidup dan tinggal bersama-sama secara damai dengan orang-orang Kalimantan di Kalimantan, dsb.
Ketiga, dalam konteks keberadaan diri manusia Indonesia sebagai warga negara ini, negara Indonesia yang berideologikan Pancasila sesungguhnya sudah selesai dan final. Yang menjadi persoalannya adalah menjadi manusia Indonesia tidak pernah selesai. Menguatnya sentimen agama akhir-akhir ini, yang tampak dalam radikalisme agama dengan maksud mengganti Pancasila dengan ideologi lain secara formal melalui konstitusi dan produk hukum lainnya, merupakan fenomena yang menyingkapkan persoalan tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pancasila sudah selesai. Tetapi yang belum selesai (bahkan tak pernah selesai) adalah menjadi manusia NKRI Pancasila.
Terlepas dari persoalan judul antologi ini, beberapa puisi dalam antologi ini sungguh-sungguh mencerminkan pergulatan manusia Indonesia perihal keindonesiaannya. Pergulatan para penyair akan keindonesiaannya, yang terepresentasikan dalam puisi-puisinya merupakan suatu sikap berkebudayaan yang mengandung keberanian dan kasih sayang, bahkan keugaharian. Di tengah banyak orang Indonesia yang masa bodoh dengan keindonesiaannya, di tengah segelintir orang yang bernafsu menggantikan keindonesiaan yang Pancasila dengan keindonesiaan yang berasaskan nilai agama tertentu, para penyair dan puisi-puisinya dalam antologi ini, hadir dengan keutamaan keberanian, kasih sayang dan keugaharian. Mereka berani menegaskan pergulatannya mengenai keindonesiaan.
Dengan penuh kasih sayang akan Indonesia dan manusia Indonesia, mereka menunjukkan sikapnya secara puitis atas Indonesia dan manusia Indonesia. Dengan keugaharian, kerendahan hati, mereka menyatakan secara puitis bahwa supaya sungguh-sungguh dan mampu menjadi manusia Indonesia dalam Indonesia yang paradoks ini, diperlukan pula keutamaan keugaharian, pengosongan diri dari egoisme ekstrim atau komunalisme ekstrim. Mereka juga menyatakan bahwa menjadi orang Indonesia yang sesungguhnya berarti berani melawan arus umum yang salah.
Corak pergulatan yang demikian itu tampak dalam puisi Eka Budianta. Penyair ini menunjukkan pergulatannya akan keindonesia dengan menunjukkan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh empat tokoh bangsa Indonesia, yakni Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam puisi berjudul “Manusia Durian” berikut ini:
Manusia Durian
Durian tidak bermaksud mengganggu siapa pun.
Ia hanya ingin menjadi yang paling baik, paling berkualitas,
dengan aroma menyebar ke seluruh dunia.
Terapi beberapa orang menjadi pusing, mual,
muntah-muntah bahkan pingsan, meski pura-pura.
Apakah durian harus dilenyapkan dari muka bumi?
Ah – hanya seorang Basuki Tjahaya Purnama,
Pramoedya Ananta Toer – juga banyak musuhnya.
Atau Gus Dur, bahkan Bung Karno – yang sering dihujat,
dan mungkin juga ayahmu, atau kamu sendiri.
Semua sudah diciptakan dan mendapat apresiasi terbaik.
Terima kasih.
(2017)
Dalam sejarah republik ini, keempat orang ini adalah sosok-sosok yang sungguh-sungguh bergulat dengan keindonesiaan. Mereka adalah orang-orang yang tanpa pamrih (ugahari) mengupayakan Indonesia sungguh-sungguh menjadi tanah air yang ideal, meskipun mereka harus berhadapan dengan sebagian besar orang Indonesia yang bertentangan dengan mereka.
Penyair Eka Budianta memetaforakan empat tokoh bangsa Indonesia tersebut sebagai (manusia) durian. Secara jeli penyair menggambarkan empat keutamaan (keberanian, kasih sayang, keugaharian, dan kebijaksanaan) dalam diri empat tokoh bangsa tersebut. Mereka berani menyuarakan hal yang benar tentang Indonesia, yang didorong oleh keutamaan kasih sayang mereka terhadap Indonesia dan manusia Indonesia. Kalau kita membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, dengan mudah kita memperoleh kecintaannya terhadap Indonesia dan manusia Indonesia. Untuk itu, segala bentuk penjajahan dan imperialisme harus ditolak dengan sikap berani.[6] Demikian pula Gus Dur dan Ahok (Basuki Tjahaya Purnama), dengan berani mereka melawan segala bentuk penindasan.
Penyair Eko Kuntadhi mengedepankan pergulatannya tentang ke-Indonesiaan secara jenaka dengan menyodorkan kepada kita, apa yang disebut oleh Platon sebagai epithumia (nafsu-nafsu) yang digandrungi oleh manusia Indonesia. Mari simak puisi berjudul “Nonton TV” berikut.
Nonton TV
Saya duduk berdua dengan Ibu Pertiwi di ruang keluarga
Dia sedang menjahit bendera yang koyak
Dan saya menyaksikan berita demi berita dari stasiun TV.
"Siapa lagi yang mau menjahitkan bendera yang koyak ini. Anak-anak sekarang
mungkin seumur hidupnya tidak pernah memasukkan benang ke lubang jarum,"
dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
Saya menangkap helaan nafas tipis. Lalu mencomot nastar.
Televisi menyiarkan berita para politisi yang sibuk melindungi diri. Mereka ingin
menelanjangi KPK.
"Bu, mengapa mereka begitu?"
"Sejak kecil mereka memang selalu kelaparan. Dulu dia makan nasi dan sayur.
Ketika besar dia memakan apa saja. Gunung, meja, laut, sapi. Mereka juga doyan
mengunyah KTP," jawabnya. Lalu dia kembali terpaku dengan pekerjaanya.
Televisi menyajikan berita seorang kakek yang mulutnya celemotan. Dia seperti
kecewa dengan hidupnya lalu menyemburkan kekecewaan dengan cara
menghardik orang lain. Seingatku di masa muda, kakek itu penuh elan perjuangan.
"Kenapa dia berubah, bu?"
"Manusia, nak, seringkali tidak otentik. Dia berbuat dan bicara sesuai keinginan
dan lingkungannya. Bukan nilai yang ditentengnya. Tapi kedengkian yang
dipanggulnya."
Saya hanya diam. Kadang saya memang tidak memahami jawaban-jawabannya.
Sementara televisi terus saja menyemburkan berita.
Orang-orang penuh kemarahan mencaki maki bangsanya sendiri.
Mereka mencela
semuanya yang tidak sepaham. Mereka benci dengan Pancasila. Membenci NKRI.
Bahkan membenci batik. Mereka mencemooh semua yang berbau Indonesia.
"Bu, siapa yang menghamilimu hingga lahir anak-anak seperti itu? Mereka seperti
membenci dirinya sendiri. Mereka seperti muak dengan darahnya sendiri?"
Ibu Pertiwi yang semula serius menjahit, tetiba mengangkat wajahnya. Dia
menatapku dengan pandangan yang entah apa maknanya. Lalu dia membuang
muka, mengalihkan pandangan ke jendela.
Matanya menerawang seperti sedang mencari-cari file yang hilang dalam
ingatan.
"Malam itu, bapak pulang dalam keadaan mabuk. Dari nafasnya ibu melihat
ratusan kecoa berhamburan. Matanya merah dan badannya bau got," dia
membuka cerita.
"Bapak mendatangi ibu seperti sapi yang sedang birahi."
"Apakah ibu menikmatinya?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku tahu ada guratan pedih melintas di
wajahnya.
"Sembilan bulan kemudian ibu melahirkan. Itulah mereka. Anak-anak yang tidak
mencintai rumahnya sendiri. Orang-orang yang tidak percaya diri sebagai bangsa
Indonesia."
Lalu dia bangkit dari duduknya. Berjalan ke kamarnya. Begitu keluar dia sudah
mengganti kebayanya dengan stelan training pack. Lengkap dengan sepatu lari.
"Ibu mau jongging dulu."
"Bu... nanti pulangnya titip bubur ayam, ya..."
Dalam dialog antara “saya” dan “Ibu Pertiwi” pada puisi tersebut, Ibu Pertiwi menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia yang hidup berdasarkan nafsu-nafsu (epithumia). Nafsu-nafsunya tidak diarahkan pada keutamaan keugaharian, melainkan hidupnya dikendalikan oleh nafsu-nafsu. Orang-orang Indonesia yang demikian, justru merupakan orang-orang yang tidak percaya diri sebagai bangsa Indonesia. Orang-orang seperti itulah yang membenci NKRI, membenci Pancasila, dan mencemooh semua hal yang berbau Indonesia. Sungguh paradoks: mereka tinggal dan hidup di Indonesia tetapi mencemooh semua hal yang berbau Indonesia.
Penyair Kurnia Effendi menunjukkan pergulatannya tentang keindonesiaan dengan puisinya berjudul “Mencari Indonesia”. Mari simak puisi tersebut di bawah ini.
Mencari Indonesia
Jauh menempuh jarak dan waktu. Jauh meninggalkan kekasih dan kesayangan.
Jauh meninggalkan tanah kelahiran dan tanah kehidupan. Jauh meninggalkan
wilayah yang berderak nyaris remuk oleh kaum yang sedang bertikai agama dan
demokrasi. Jauh meninggalkan pekerjaan yang tak kunjung rampung.
Ke mana langkahku?
Aku – astaga – mencari Indonesia ke negeri kompeni. Aku terbang melintas
kontinen ke Negeri van Oranye. Aku ziarah rempah ke negeri mantan penjajah.
Aku menjadi pengembara dengan uang negara. Aku menuntut ilmu dari buku
buku. Aku tetirah memunguti remah sejarah. Aku tertawan di ruang-ruang
perpustakaan.
Aku ke Leiden mencari Indonesia
Di lubuk arsip lebih satu abad, kuraba kertas buatan Eropa tempat Raden Saleh
menggurat aksara, sebuah pesan dan permintaan untuk yayasan, dimulai dengan:
Jang terhormat dan tjinta. Ada sedikit kelip cahaya pada lorong waktu yang
memanjang ke tilas masa silam.
Di genangan kenangan lebih setengah abad, tersimpan tulisan tangan guru-guru
besarku yang telah menjadi debu dalam peristirahatan. Mochtar Apin. Hatiku
terpilin. Ahmad Sadali. Rinduku menjadi-jadi. Angkama. Terasa jiwaku
berkelana. But Mochtar. Tak ada yang sanggup meredakan getar.
Aku memasuki Indonesia, negeri tropis, di ruang terang Belanda, negeri empat
musim
Leiden, 15 Juli 2017
Penyair Kurnia Effendi menempuh cara “mencari Indonesia di Leiden” sebagai wujud dari pergulatannya akan keindonesiaan. Dalam puisi tersebut, justru ia mengakui dengan jujur bahwa ia menemukan remah-remah sejarah Indonesia di negeri Belanda. Justru karena ia mengasihi Indonesia, maka ia rela mencari Indonesia sampai ke negeri oranye. Mengapa harus ke sana? Ya, karena di Leiden, riwayat tentang Indonesia, riwayat tentang orang-orang yang telah bersusah payah membentuk Indonesia, dapat ditemukan olehnya.
Para penyair dan puisi-puisi dalam antologi ini menjadi mercusuar dan lampu mercusuar yang memandu warga bangsa Indonesia untuk terus-menerus memupuk komitmen merawat Indonesia yang berkeutamaan nilai-nilai Pancasila. Puisi-puisi dalam antologi ini juga merupakan wujud dari keutamaan-keutamaan: keugaharian, kasih sayang, keberanian, dan kebijaksanaan yang dihayati oleh para penyair dalam berkebudayaan. Aktivitas berkebudayaan mereka merupakan pergulatan mereka akan keindonesiaan dan komitmen mereka terhadap Indonesia yang berkeutamaan Pancasila.
Pada akhirnya: Merdeka!! Berjayalah Indonesia yang ber-Pancasila.
Medang Lestari, Tangerang, Banten, akhir Juli 2017
*Dosen Filsafat
padaFakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten
Baca Juga:
Gerakan Donasi Buku Apa & Siapa Penyair Indonesia
Ahai! Inilah 9 Film tentang Kepenyairan
Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia - Herman Syahara
[1] Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.), 2005, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, hal. 9.
[2] Peneropongan terhadap keberanian ini seiring juga dengan maksud dari penerbitan antologi puisi ini dan isi puisi-puisi antologi ini. Maksud penerbitan antologi puisi ini adalah memaknai kembali Indonesia sebagai bangsa dan negara. Sedangkan isi puisi-puisi dalam antologi ini menyingkapkan pergulatan para penyair sebagai warga Indonesia, yakni pergulatan akan keindonesiaan.
[3] Lihat lengkap pada A. Setyo Wibowo, “Tuduhan Totaliterisme dalam Filsafat Politik Platon” dalam F. Budi Hardiman (Ed.), 2016, Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hal. 203-254.
[4] Bangsa (nation) merupakan sebuah konsep yang lahir dari konteks negeri-negeri jajahan berusaha melepaskan diri dari penjajahan oleh negara-negara Eropa. Nusantara yang dijajah oleh Belanda juga bergelut dengan idea “bangsa” dan perwujudan konkritnya melalui upaya membebaskan diri dari penjajahan. Idea dan sentimen kebangsaan hadir sebagai sebuah gerakan politik untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda, muncul pertama kali pada Sumpah Pemuda tahun 1908. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai kelompok/daerah mendeklarasikan sumpahnya. Salah satu butir dari Sumpah Pemuda adalah Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Sejak saat itu, idea tentang bangsa, menjadi semangat utama dalam gerakan politik kemerdekaan.
[5] Y.B. Mangunwijaya, 1999, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein: Esei-esei tentang Kebudayaan Indonesia Abadke-21, Yogyakarta, Kanisius, hal. 35.
[6] A. Teeuw, 1997, Cintra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 39-40.
[2] Peneropongan terhadap keberanian ini seiring juga dengan maksud dari penerbitan antologi puisi ini dan isi puisi-puisi antologi ini. Maksud penerbitan antologi puisi ini adalah memaknai kembali Indonesia sebagai bangsa dan negara. Sedangkan isi puisi-puisi dalam antologi ini menyingkapkan pergulatan para penyair sebagai warga Indonesia, yakni pergulatan akan keindonesiaan.
[3] Lihat lengkap pada A. Setyo Wibowo, “Tuduhan Totaliterisme dalam Filsafat Politik Platon” dalam F. Budi Hardiman (Ed.), 2016, Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hal. 203-254.
[4] Bangsa (nation) merupakan sebuah konsep yang lahir dari konteks negeri-negeri jajahan berusaha melepaskan diri dari penjajahan oleh negara-negara Eropa. Nusantara yang dijajah oleh Belanda juga bergelut dengan idea “bangsa” dan perwujudan konkritnya melalui upaya membebaskan diri dari penjajahan. Idea dan sentimen kebangsaan hadir sebagai sebuah gerakan politik untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda, muncul pertama kali pada Sumpah Pemuda tahun 1908. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai kelompok/daerah mendeklarasikan sumpahnya. Salah satu butir dari Sumpah Pemuda adalah Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Sejak saat itu, idea tentang bangsa, menjadi semangat utama dalam gerakan politik kemerdekaan.
[5] Y.B. Mangunwijaya, 1999, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein: Esei-esei tentang Kebudayaan Indonesia Abadke-21, Yogyakarta, Kanisius, hal. 35.
[6] A. Teeuw, 1997, Cintra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 39-40.