Menjaga Nurani Merawat Negeri - Yoseph Yapi Taum
MENJAGA NURANI MERAWAT NEGERI
Oleh Yoseph Yapi Taum*
Dibandingkan
dengan seniman-seniman lain, barangkali para penyairlah yang paling banyak mengekspresikan
rasa cintanya kepada tanah air. Tampaknya ada hubungan yang erat antara
kepenyairan dan rasa cinta tanah air. Dalam sejarah sastra Indonesia,
penyair-penyair awal bangsa ini muncul dengan mengemukakan rasa cintanya kepada
tanah air. Mereka menerbitkan karya-karyanya melalui Balai Pustaka, sebuah lembaga resmi yang dibangun
pemerintah kolonial Belanda: ‘Comissie
voor de Volkslectuur’ (Komisi Bacaan Rakyat) tahun 1908. Lembaga ini
dibangun sebagai konsekuensi politik etis, yang mendirikan sekolah bagi kaum
Bumi Putera. Banyak pemuda yang dididik secara Barat mendapatkan wawasan
tentang nasionalisme dan demokrasi.
Ada tiga orang penyair terpenting Angkatan Balai Pustaka,
yakni: Muhammad Yamin (Tanah Air, 1922),
Rustam Effendi (Bebasari, 1924, Percikan
Permenungan, 1926), dan Sanusi Pane (Pancaran Cita, 1926; Puspa mega, 1927).
Muhammad Yamin dalam puisi berbentuk soneta berjudul “Indonesia Tumpah Darahku”
mengungkapkan pujaan dan rasa cinta tanah airnya yang sangat besar.
INDONESIA
TUMPAH DARAHKU
Oleh
Muhammad Yamin
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Bahkan Muhammad Hatta, tokoh proklamator kemerdekaan RI yang
kemudian menjadi Wakil Presiden RI pertama, juga menulis puisi cinta tanah air yang
tak kalah indahnya berjudul “Beranta Indra.”
BERANTA
INDERA
Oleh
Muhammad Hatta
Lihatlah timur indah berwarna,
Fajar menyingsing hari pun siang;
Syamsyu memancarkan sinar yang terang,
Khayal tersenyum berpanca indra.
Angin sepoi bertiup dari angkasa,
Merembus ke tanah ranting diguncang;
Margasatwa melompat keluar sarang,
Melihat beranta indera indah semata.
Langit lazuardi teranglah sudah,
Bintang pun hilang berganti-ganti;
Cahaya Zuhari mulai muram.
Haiwan meneriak selawat alam,
Hati pun girang
tiada terperi;
Melihat kekayaan subhan Allah.
Melalui puisi, kita ikut merasakan getaran cinta tanah
air dan rasa bangga atas keindahan bumi bangsa
kita. Fenomena keterkaitan penyair dan rasa cinta tanah air bukan
fenomena yang khas Indonesia. Ini merupakan sebuah fenomena global. Di berbagai
belahan bumi ini, para penyair dengan ekspresif menggemakan rasa cinta mereka
terhadap tanah airnya masing-masing. Allen Ginsberg (1926–1997), seorang ikon penyair Amerika
yang terkenal karena kepeduliannya terhadap persoalan kebangsaan, menerbitkan antologi
puisi berjudul Poems for the Nation: A Collection of
Contemporary Political Poems (1999) (Puisi-puisi untuk Negeri:
Antologi Puisi Politik Kontemporer”). Di
Uganda, Christopher Henry Muwanga Barlow menghimpun puisi-puisi dalam antologi
berjudul Building the Nation and Other Poems.
Hadirnya antologi puisi Kita Adalah Indonesia secara
tegas mengungkapkan obsesi dan rasa cinta para penyair akan persoalan-persoalan
penting di tanah air yang bernama Indonesia.
Bagaimanakah ekspresi
para penyair Indonesia tentang negerinya di tahun 2017 ini? Seperti apakah
gambaran rasa cinta tanah air mereka setelah Indonesia merdeka selama 72 tahun?
Persoalan-persoalan kebangsaan apa sajakah yang sedang dihadapi bangsa ini,
yang digulati penyair-penyair kita? Catatan ini
tidak berpretensi mengulas semua tema yang terkandung di dalam antologi yang
sangat kaya ini. Beberapa catatan dari hasil pembacaan tentang hal-hal krusial
saja yang akan dicatat. Di antaranya: keragaman, keindahan, dan harapan.
Keindahan Indonesia
Tema keindahan masih dominan dalam puisi-puisi ini. Akan
tetapi keindahan Indonesia tidak seromantis keindahan yang dibayangkan penyair-penyair
Angkatan Balai Pustaka: keindahan tanpa batas. Bagi para penyair sekarang,
keindahan Indonesia masih seperti lukisan namun bingkainya retak. Puisi karya
Panjikristo “Lukisan Berbingkai Retak” kiranya mewakili estetika keindahan
tanah air tahun 2017. Berikut ini puisinya.
Lukisan
Berbingkai Retak
Deretan titik
membentuk garis
lurus dan lengkung.
Kanvas dipenuhi goresan dan sapuan,
hasilkan gradasi pada lukisan,
tipis dan tebal
gelap dan terang
dengan paduan warna-warni
semua unsur berpadu satu
Seandainya saja,
ada satu saja warna yang hilang?
apa jadinya?
Jika warnanya cuma hitam,
memangnya mau bikin siluet?
Tidak ada lukisan satu warna
jangan hilangkan satu warna
akan berkurang keindahannya.
Lukisan itu indah,
sayang bingkainya retak
lurus dan lengkung.
Kanvas dipenuhi goresan dan sapuan,
hasilkan gradasi pada lukisan,
tipis dan tebal
gelap dan terang
dengan paduan warna-warni
semua unsur berpadu satu
Seandainya saja,
ada satu saja warna yang hilang?
apa jadinya?
Jika warnanya cuma hitam,
memangnya mau bikin siluet?
Tidak ada lukisan satu warna
jangan hilangkan satu warna
akan berkurang keindahannya.
Lukisan itu indah,
sayang bingkainya retak
Tiba-tiba aku melihat lukisan itu
cerminan bangsa ini.
Bangsa yang indah
beragam suku dan bangsa
dan budaya
Masyarakat majemuk laksana warna-warni
Mari padukan warna itu
tiada yang mesti hilang
perbaiki bingkai yang retak
cerminan bangsa ini.
Bangsa yang indah
beragam suku dan bangsa
dan budaya
Masyarakat majemuk laksana warna-warni
Mari padukan warna itu
tiada yang mesti hilang
perbaiki bingkai yang retak
Tidak sulit bagi kita memahami retaknya
keindahan bangsa Indonesia yang beragam suku, bangsa, dan budaya saat ini.
Bangsa ini sedang dilanda perpecahan berbasis SARA. Pilkada Jakarta 2017 –juga
Pilkada di daerah-daerah lainnya-- menyuguhkan secara vulgar dan kasar retaknya
bingkai lukisan Indonesia karena perbedaan horizontal yang di-tajam-kan sebagai alat politik kekuasaan.
“Lukisan itu indah,//sayang bingkainya retak,” kata Panjikristo.
Dalam puisi “Semangat Cinta Negeri”, Immaculata Is Susetyaningrum menggambarkan fenomena menyatunya
masyarakat “menyalakan ribuan lilin”. Semangat cinta negeri dengan menyalakan
ribuan lilin merupakan sebuah fenomena penting yang terjadi sebagai dampak
Pilkada Jakarta 2017 yang penuh nuansa SARA. Petahana Basuki Cahaya Purnama
(Ahok) yang terkenal bersih, tegas, berprestasi, dan berani melawan korupsi tidak
hanya dikalahkan dalam Pilkada Jakarta 2017 melainkan juga dikalahkan di
pengadilan atas tuduhan “menista agama”.
Jutaan masyarakat, bukan hanya di Jakarta dan di seluruh Indonesia
tetapi juga di empat benua melakukan gerakan perlawanan moral dengan menyalakan
ribuan lilin di berbagai kota dan pelosok negeri.
Semangat
Cinta Negeri
Tumpah bangsaku
Menyatu seluruh
Nyalakan ribuan lilin
Tanda harapan
Mulut-mulut menggemuruhkan nasionalisme dalam lagu
Terbakar semangat bangga dan cinta negeri
Bergandeng tangan
Indah bhinneka
Gelora cinta negeri
Menyatukan semua hati
Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa
Tanah air pasti jaya
Untuk selama-lamanya
Bangkel, Yogyakarta, 17/7/17, 01:23
Fenomena menyalakan jutaan lilin dilaksanakan bersamaan atau
mengikuti ritual mengirim ribuan karangan bunga ke Balai Kota Jakarta kemudian
ke Monas dan ke Mabes POLRI. Ritus pengiriman bunga ini pun merupakan bentuk
perlawanan moral atas kekalahan menyakitkan Gubernur DKI Jakara Basuki Cahaya
Purnama. Acara itu biasanya diikuti dengan doa lintas agama dan menyanyikan
lagu-lagu kebangsaan. Tak salah bahwa bersimpati pada nasib Gubernur Ahok
diartikan sebagai “semangat cinta negeri”. Julia Daniel Kotan mengungkapkannya
dalam puisi “Papan Bunga Balai Kota.”
Papan Bunga
Balai Kota
Untuk Ahok
Hamparan permadani membentangkan serenada
Tak menyapa subuh sampai senja memanggil
Beribu kepala menyembul
Tangan terulur
Apa yang kau cari bapa, mama dan semua?
Kepak sayap elang hendak
Bertengger di puncak
Kotak-kotak menarikan air mata
Aksara bermakna lara dan suka
Serta asa yang teraniaya
Cinta terpatri di gunungan bunga
Tertancap di papan yang setia
Menerima apa yang tebersit
Dari hati pengirimnya…
Beribu papan bunga membanjir
Semilir terukir benih terima kasih
Dan bakti dari ksatria yang kalah
Yang lemah bukan karena payah
Tetapi melawan kekuatan
Aksimu memburu tumbuhkan cintamu
Kesucianmu dalam kasus bancaan
Melibatkan rombongan predator
Yang bukan lagi sekadar koruptor
Adamu bersih suci murni
Kan kami temani berdiang
Dalam abu dingin
Membakar kayu pilihan pada tersuci
Kau akan makin berkilau karena ditempa
Di kawah candradimuka yang membara
Zaman ‘kan membuktikan perumpamaan
Siapa emas yang menahan panas
Menziarahi hidup dengan perubahannya
Mengundang mata dengan tenang
Bergetar dada meratapi wajah senyum
Dipeluk penuh cinta oleh sang pencipta
Berjejal manusia mengulurkan tangan
Menyentuh seujung bajumu
Bahagia
Ditingkah teriakan bernada pedis
Perlambang ketabahan dan kesakitan
Tertahan tangisan anak negeri
Biarlah mengalir sampai ke hilir
Air mata
Simpati
Empati
Belas kasih
Kerinduan
Dukungan
Untukmu
Cinta itu telah menemukan
Tempat pelariannya
Catatan:
kisah heroik yang tak kentara
Depok, 26042017
Ketiga puisi di atas menunjukkan dengan tegas
keberpihakan para penyair pada hati nuraninya yang menghargai prestasi dan
kerja keras di atas segala propaganda berbasis SARA. Para penyair ini menolak penggunaan SARA
sebagai alat politik kekuasaan yang sangat berbahaya (lethal weapon) karena meruntuhkan integrasi dan keharmonisan sosial
yang dengan susah payah dibangun para pendiri bangsa.
Keragaman Indonesia
Salah satu keunikan bangsa Indonesia,
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia adalah keragaman suku, bangsa,
bahasa, agama, dan budaya. Dalam puisi “Ada Kita”, Buanergis Muryono menegaskan
eksistensi bangsa Indonesia yang multikulturalis. //Perbedaan itu
kekuatan//Keragaman sebagai kekayaan//tentang rajutan benang kehidupan//agar
menjadi sempurna mendapat ragam jawaban...//. Seperti ditegaskan juga oleh Ezra
Tuname dalam puisi metaforis “Mulutku Bukan Harimaumu”: //Meski berbeda,//kita satu mulut//.
Panjikristo dalam “Warisan Sang Mpu” secara lebih terinci
mengungkap filosofi leluhur para pendiri bangsa yang menganggap perbedaan
sebagai sumber kekuatan, bukan kelemahan. //Berbeda buat mereka kuat,//jika
saling menggengam erat//… //karena
Bhinneka Tunggal Ika,//jangan sampai lapuk tergerus zaman//.
Bagaimana
menyikapi keragaman bangsa ini? Heru Marwata dalam “Satu Rasa dalam
Kebersamaan” menyadari resiko dari bangsa yang beragam, yang bisa saja berebut
“kebenaran”. Heru mengungkap fakta bahwa di bumi Nusantara ini jelas ada
perbedaan, pertengkaran, saling cakar dan berebut kebenaran, terkadang
pertengkaran yang tidak perlu dan tidak bermutu. Bagaimana mengakhirinya?
Cinta, satu hati, laku komunikasi, silaturahmi, merenda benang harap, dan satu
rasa dalam kebersamaan. Simak dalam puisi Heru Marwata selengkapnya berikut
ini.
Satu Rasa Dalam Kebersamaan
aku sadar
di bumi bulat bundar
kita sering berbeda dan bertengkar
tak jarang kita lanjutkan dengan saling cecar
dan bahkan kadang kita pun saling cakar berebut benar
aku tahu
di jalur panjang sejarah waktu
negeri majemukku begitu biasa dilanda duka-pilu
oleh perselisihan tak berujung, tak perlu, bahkan tidak
bermutu
sayang, kadang kala semua dianggap ritual dan sekadar
buru pematang rindu
aku pinta
kita selaraskan kata
tempat menaburbaitkan benih cinta
mendesir arti menderas wacana bahasa makna
melagudendangkan jiwa kebersamaan dalam balada anak
bangsa
satu hati
citra tanah air menghias diri
terpantul indah di langit laku komunikasi
tergenggam mesra di jari tangan kalbu silaturahmi
anak negeri merenda benang harap kain sutra bumi pertiwi
demi martabat bangsa, kita adalah pengelana di segala
medan perjuangan
pelacak jejak, pengarung laut, juga penakluk gunung
pengharapan
pengemas asa, petarung tangguh penganyam kesadaran
demi wajah negeri yang kita damba idamkan
ikrar kita: satu rasa dalam kebersamaan
Yogyakarta, #pondokulusikatatanpaarti, 12 Juli 2017
Sebagaimana di dalam wacana nasionalisme, bangsa
Indonesia juga membutuhkan nilai-nilai dasar yang merekat-hubungkan
keanekaragaman itu. Kita paham bahwa Indonesia mengakui five principles lima dasar NKRI yang tertuang di dalam Pancasila. Ezra
Tuname dalam “Perempuan Bersanggul Pancasila” memberikan ilustrasi dengan
sebuah metafora yang menarik yang melukiskan Indonesia dan ideologinya ibarat
perempuan bersanggul Pancasila. Di antara bangsa-bangsa, Indonesia begitu cantik
dan anggun. Tak ada yang berani menggoda dan mengusili perempuan berkebaya
bhinneka ini. Dengan wajah damainya, ia tak merunduk malu dan kikuk, ia
tengadah menyapa cakrawala.
Perempuan
Bersanggul Pancasila
Berjalan di antara barisan mata berwarna
Ia cantik menyapa
Dengan salam
Senyum sederhana
Tangan terkepal
Ia perempuan bersanggul Pancasila
Tak ada yang bersiul
Atau sekadar mencolek
Sebab ia anggun berkebaya bhinneka
Perempuan bersanggul Pancasila
Berwajah damai
Tatapannya menyapa cakrawala
Borong, 2017
Keharmonisan Indonesia dengan ideologi
Pancasilanya yang diibaratkan sebagai perempuan bersanggul Pancasila, kini
terancam oleh pemaksaan kehendak standardisasi moral. Dalam puisi “Bhinneka”,
Heru Marwata memotret fenomena penyimpangan perilaku orang Indonesia yang tidak
lagi menghargai keberagaman bangsa. Suka memaksakan kehendak, tebang pilih
dalam bertindak, menolak keberagaman, berteriak di jalanan sebagai manusia
paling benar, menuduh orang lain cemar, berani membela yang bayar, meniupkan
perpecahan, mengehembuskan kebencian, mengkafirkan teman, dan menghakimi tanpa
fakta. Semua fenomena ini, menurut Heru Marwata, mengancam marwah Garuda Pancasila.
Bhinneka
jangan pernah percaya jiwa bhinneka
jika masih suka memaksakan kehendak
jika masih tebang pilih dalam bertindak
jika pada keberagaman sering berkata tidak
jangan pernah percaya jiwa bhinneka
jika di jalanan berteriak sebagai yang paling benar
jika di ruang sidang menyebut orang lain penuh cemar
jika motto hidupnya tak pernah gentar asalkan dibayar
bhinneka itu berteman dengan timbang rasa
berjabat erat dengan saling beri terima
berkarib dengan kesediaan berbagi
bersaudara dengan budi sehati
bhinneka teramu dalam semangat saling tampung
tanpa meniadakan kuat kawat anyam jejaring
bhinneka menghadirkan saling mendulang dukung
tanpa menghapus
jejak juang teman seiring
jangan syairkan lagu bhinneka
jika mulutmu tiupkan perpecahan
jangan lafalkan doa bhinneka
jika napasmu hembuskan kebencian
jangan pernah meneriakkan kebhinekaan
jika begitu mudah mengkafirkan teman
mudah menghakimi tanpa penelusuran
mudah mengecap melempar tuduhan
bhinneka itu tersemat di dada
terukir di jiwa, terpahat penuh makna
mematri semangat juang Garuda Pancasila
dalam ramu serta rima Bhinneka Tunggal Ika
Yogyakarta, #pondokilusikatatanpaarti, 7 Juli 2017
Hapan untuk Negeri
Apa sajakah harapan para penyair untuk masa depan
Indonesia Raya? Waty Sumiati Halim dalam “Damba Seorang Anak Negeri”
mengungkapkan harapan-harapannya sebagai seorang anggota masyarakat Indonesia
‘biasa’ yang tak terpandang dan bukan orang bijak. Sebagai orang biasa, penyair
ini mengungkapkan ‘kebijaksanaan’ hidup di bumi Indonesia: persahabatan dalam keberagaman (silih asih), persaudaraan dalam
perbedaan (silih asah), dan persatuan
bangsa (silih asuh). Bukankah saling
asih, asah, dan asuh merupakan kearifan leluhur bangsa Indonesia yang terkenal
toleran dan harmonis?
Damba
Seorang Anak Negeri
Aku bukanlah seorang terpandang
Terlahir, tumbuh dan mengenal arti hidup
bermula dari tangis pertamaku
Selepas dari katup suci ibuku
di negeri ini
Aku bukanlah seorang bijak
Belajar hal sederhana tentang dunia
Bermula di sebuah taman kanak-kanak
Terlahir, tumbuh dan mengenal arti hidup
bermula dari tangis pertamaku
Selepas dari katup suci ibuku
di negeri ini
Aku bukanlah seorang bijak
Belajar hal sederhana tentang dunia
Bermula di sebuah taman kanak-kanak
dengan ketulusan bocah mungilnya
Melangkah ke luar pagar rumahku
Membaur dalam keberagaman di sekitar rumah ibuku
Memintal benang persahabatan dalam keberagaman
Melangkah ke luar pagar rumahku
Membaur dalam keberagaman di sekitar rumah ibuku
Memintal benang persahabatan dalam keberagaman
– “silih asih-lah,” kata ibuku
Merajut jaring persaudaraan dalam perbedaan
Merajut jaring persaudaraan dalam perbedaan
– “silih asah-lah,” pesan ibuku
Menenun selimut persatuan dalam gerak langkah bangsa ini
Menenun selimut persatuan dalam gerak langkah bangsa ini
– “silih asuh-lah,” harap ibuku
Mengukir sejuta mimpi pada kanvas sejarah bangsa
Menggubah senandung melodi pada cakrawala persada
Pada relung hati terdalam menyimpan sebuah damba
untuk bangsa dan negara yg tercinta ini...
Mengukir sejuta mimpi pada kanvas sejarah bangsa
Menggubah senandung melodi pada cakrawala persada
Pada relung hati terdalam menyimpan sebuah damba
untuk bangsa dan negara yg tercinta ini...
Semua hati merunduk teguh bersatu giat membangun
Negeriku yang kaya, rakyatnya sejahtera
Bangsaku yang besar, rakyatnya rukun dan damai
Negeriku yang kaya, rakyatnya sejahtera
Bangsaku yang besar, rakyatnya rukun dan damai
Namanya disebut oleh dunia dengan hormat : INDONESIA
Bandung, 5 Juli 2017
Penyair senior Jose Rizal Manua menegaskan harapannya
dalam puisi “Kurindukan Sebuah Indonesia”. Terasa benar pandangannya yang arif,
bijak, dan penuh kasih. Ia berharap umat beragama hidup rukun dan damai
sehingga pembakaran rumah ibadah tak terjadi lagi. Ia berharap manusia
Indonesia semakin beradab dan menjunjung tinggi keadilan juridis, sehingga
“vonis bebas macam badutan tak lagi terjadi”. Rakyat Indonesia bersatu sehingga
hasutan perpecahan tak lagi mempan. Koor setuju wakil rakyat tak terjadi lagi.
KKN tak terjadi lagi. Harapan dan cita-cita luhur ini begitu indahnya. Akan
tetapi, di ujung puisi ini, Jose Rizal Manua bertanya kecut, “Mungkinkah itu
terjadi?”
Kurindukan Sebuah Indonesia
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana umat beragama
Hidup rukun bertetangga
Sehingga pembakaran
Rumah ibadah
Tak lagi
Terjadi
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana manusia beradab
Menjunjung daulat hukum
Sehingga vonis bebas
Macam badutan
Tak lagi
Terjadi
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana semangat
persatuan
Tertanam di kalbu insan
Sehingga perpecahan
karena hasutan
Tak lagi
Terjadi
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana setiap pemimpin
Berlomba membangun
peradaban
Sehingga koor setuju
Wakil rakyat
Tak Lagi
Terjadi
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana keadilan sosial
membuat rakyat sejahtera
Sehingga epidemi Korupsi
Kolusi dan Nepotisme
Tak lagi
Terjadi
Kurindukan sebuah
Indonesia
Di mana umat beragama
Hidup rukun bertetangga
Di mana manusia beradab
Menjunjung daulat hukum
Di mana semangat
persatuan
Tertanam di kalbu insan
Di mana setiap pemimpin
Berlomba membangun
peradaban
Di mana keadilan sosial
Membuat rakyat sejahtera
Namun, lagi-lagi
Mungkinkah itu
Terjadi?
Jakarta, 11 Maret 1999
Penutup
Dalam puisi, wajah Indonesia di tahun
2017 berbeda dengan di tahun 1920-an, 1940-an, dan 1960-an. Ekspresi rasa cinta
dan bangga akan tanah air Indonesia juga berbeda getaran dan semangatnya. Bumi
Nusantara yang indah dan megah tetap sama dari zaman dahulu kala. Tetapi
semangat orang yang menghuninya ternyata berbeda-beda.
Terbitnya antologi puisi “Kita Adalah Indonesia” mendapat
momentum yang tepat justru ketika bangsa Indonesia merayakan peringatan 72
tahun usia negeri ini. Tahun 2017 adalah tahun yang menyimpan begitu banyak
pengalaman pahit perjalanan negeri ini. Ancaman keberagaman terkoyak dengan
hadirnya kaum radikalis yang tak segan-segan melakukan persekusi terhadap
‘lawan’ siapapun dia. Paradigma lama “kawan-kawan” yang diwariskan leluhur
bangsa ini diganti dengan paradigma “kawan-lawan”. Garis demarkasi suku, agama,
ras, golongan ditarik dengan tajam, direkayasa, dan dijadikan alat politik
kekuasaan.
Para penyair yang menghadirkan puisi-puisinya di dalam
antologi ini memberikan peringatan kepada para pemimpin bangsa ini untuk
mengutamakan kerja, prestasi, dan kebaikan seluruh rakyat Indonesia tanpa
kecuali. Bermain-main dengan SARA demi perebutan kekuasaan politik merupakan
sebuah senjata yang sangat berbahaya, yang akan membunuh kita semua sebagai saudara
sebangsa setanah air. Kita mendambakan pemimpin bangsa yang memiliki integritas
moral dan keberanian yang teguh untuk memimpin bangsa ini keluar dari berbagai
keterpurukan.
Antologi ini hadir di tahun politik 2017 sebagai sebuah
ajakan untuk melakukan perjalanan rohani (spiritual
journey) menimba kekayaan spiritual bangsa yang tersimpan dalam khazanah
pemikiran berbagai ajaran agama dan kepercayaan komunitas lokal. Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika didengungkan dengan kuat dalam antologi ini. Kearifan,
keutamaan, dan kebijaksanaan hidup warisan leluhur terbukti tahan uji dan
memiliki daya hidup yang sangat tinggi yang mampu membuat masyarakat kita mampu mengatasi berbagai tantangan zaman.
Melalui Antologi Puisi Kita Adalah Indonesia, para penyair yang terdiri dari Eka Budianta
, Timur Suprabana, Jamal Rahman Iroth, Ahmad
Setyo, Setyo Widodo, Maya Azeezah, Wayan Jengki Sunarta, Eddy Pramduane, A
Slamet Widodo, Muhammad De Putra, Riri Satria, Jose Rizal Manua, Dian Rusdi, J. Edward Tampubolon, Waty Sumiati Halim, Heru
Marwata, Bambang Widiatmoko, Immaculata Is Susetyaningrum, Buanergis Muryono, Panjikristo,
Kurnia Effendi, Eko Kuntadhi, Kristina Sirait, Julia Daniel Kotan, Ezra Tuname mencoba
menjaga nurani merawat negeri.
*Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Dosen Program Studi
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Baca Juga:
Buku: Abadi dalam Puisi, 54 Puisi Pilihan Eddy Pranata PNP
Gerakan Donasi Buku Apa & Siapa Penyair Indonesia
Ketakutan-Ketakutan Manusia Zaman Now
Baca Juga:
Buku: Abadi dalam Puisi, 54 Puisi Pilihan Eddy Pranata PNP
Gerakan Donasi Buku Apa & Siapa Penyair Indonesia
Ketakutan-Ketakutan Manusia Zaman Now