Menjadi Binatang Jalang atau Lonte Pemilik Modal - Dino Umahuk
Menjadi Binatang Jalang atau Lonte Pemilik
Modal
(Dibawakan pada acara HUT ke-2 milis APSAS)
Oleh Dino Umahuk*
''Ke-Indonesiaan
kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang
hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh
apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan
suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia kami tidak ingin kepada melap-lap hasil kebudayaan lama
sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi memikirkan suatu penghidupan kebudayaan
baru yang sehat...''
Surat Kepercayaan
Gelanggang
Jepang tiba-tiba datang menjajah Indonesia. Dalam kurun
waktu tahun 1942-1945, turut berkembang apa yang disebut ''Sastra Zaman
Jepang''. Produk karya sastra zaman ini banyak yang menghamba pada pemerintah
Jepang di Indonesia. Bahkan roman, cerpen dan puisi menjadi alat propaganda
penjajah Jepang, melalui sebuah lembaga ''Keimin Bunka Shidosho'' -- sebuah
pusat kebudayaan yang pro Jepang. Akibatnya, beberapa sastrawan yang bergabung
dalam lembaga itu dijuluki ''kacung'' Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945),
segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan
alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia
Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi
pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula
mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan.
Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang
menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen
pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga
penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda
melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya,
pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan
sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
Menurut Pramudya Ananta Toer, di bawah kekuasaan Jepang,
ada sastra avant garde yang lahir dan terjadi semasa penindasan militerisme
Jepang, suatu pemberontakan yang sama kerasnya dengan penindasannya. Sosok itu
Chairil Anwar dengan sajaknya, Aku, menyatakan,"Aku binatang jalan/Dari
kumpulannya terbuang."
Pram melihat, Chairil Anwar menolak diperlakukan sebagai
"binatang ternak" oleh
Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang dan
memisahkan diri dari
selebihnya. Dia sendirilah yang harus bertanggung jawab
atas karyanya. Kempetai
Jepang menangkap Chairil Anwar (tokoh utama Kesusastraan
Angkatan 1945) dan
menganiayanya. Memang kemudian, dia dibebaskan.
Ironisnya, masyarakat pembaca yang banyak membaca dan
menyukai sajak Aku
tersebut umumnya tak mengkaitkannya dengan masa
pendudukan militeris Jepang waktu dia menciptakan sajak itu dengan "luka dan
bisa kubawa berlari". Militer Jepang pada waktu itu amat bengis dan fasis. Celakanya, fasisme tumbuh di
Indonesia sebagai akibat warisan koloni Jepang. Dalam hal itu, Chairil berontak terhadap
situasi politik di bawah Jepang yang membelenggu. Sastra dan politik berimpitan
dalam badan dan jiwa Chairil yang
meradang.
Kini setelah puluhan tahun waktu berlalu, tak dapat di
pungkiri bahwa sastra Jepang telah mendapat tempat di hati pembacanya di
Indonesia dengan maraknya penerbitan karya-karya terjemahan. Jepang juga
menguasai sebagian besar film kartun dan animasi anak-anak di televisi begitu
juga komik. Bahkan komikus kita banyak yang tercekoki gaya komik Jepang. Lalu
dengan demikian, apakah apresisasi sastra sebagai sebuah komunitas sastra juga
mulai latah atau menjadi
genit untuk turut serta dalam barisan panjang pengagum
Jepang? dan mengabdi pada kaum pemilik modal?
Bukankah kelahiran mailing list apresiasi sastra untuk
memajukan sastra tanah air? Saya kira hal ini mestinya menjadi perenungan kita
semua terutama dalam rangka membawa komunitas ini kedepan. Meski demikian, saya berharap tema
ulang tahun ketiga milist Apresiasi Sastra dapat menjadi ”oase” di tengah
keringnya informasi tentang sastra Jepang, dengan membuka wawasan pembaca akan
pemikiran orang Jepang, serta dapat dimanfaatkan pula sebagai referensi bagi
mereka para pemelajar kejepangan.
Pentingnya Identitas
Dalam pandangan Maman S. Mahayana, sastra adalah roh
kebudayaan. Ia lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi
masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga
ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada
masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya.
Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas
situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang
sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, saya
kira milis Apresiasi Sastra dapat menempatkan diri. Dengan perkataan lain, milis Apresiasi
Sastra menjadi semacam ruang bagi kita semua untuk mempelajari, menggali dan
mengembangkan kebudayaan asli bangsa guna mempertegas keberadaan kesusastraan
Indonesia di tengah keberadaan sastra dunia.
Perlu diingat bahwa
selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan
pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian
diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar
muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora.
Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar
menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap
semangat Pujangga Baru.
Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua:
(1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada
usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir. (2) menolak
segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar yang
menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat
dalam peta puisi Indonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode
berikutnya.
Setelah melalui perjalanan panjang nan hiruk-pikuk
perkembangannya, sastra Indonesia sesungguhnya masih terasa asing dan sendiri.
Hal ini semestinya menjadi kegelisahan kita. Kegelisahan wagra apsas, bahwa
sudah tiba saatnya sastra Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri.
Potret Realitas
Ingatlah bahwa sastra Indonesia saat ini sedang berada
dalam ekologi yang tidak sehat. Perseteruan antarkomunitas sastra akhir-akhir ini, polemik yang
melibatkan media massa, langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan
sastra, dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra di tanah
air, mestinya menjadi pekerjaan rumah yang harus dijadikan wacana penting bagi
sebuah komunitas sebesar milis apresisasi satra ini.
Realitas juga menunjukan bahwa kuantitas penerbitan karya
sastra tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra hadir dalam
bentuk catatan pengantar atau catatan penutup sebuah buku sastra. Belum lagi hegemoni koran
yang mau tidak mau, terus menghantui karya-karya sastra yang bermunculan.
Setiap minggu ratusan karya yang muncul (sajak dan cerpen) sebagian besar
selalu mengangkat tema yang sedang hangat – sesuai dengan kepentingan koran
bersangkutan – untuk minggu berikutnya ratusan karya baru kembali lahir dan
karya minggu kemarin begitu saja dilupakan.
Tak jarang kualitas sastrawi tidak dijadikan pertimbangan
utama bagi kelayakan karya sastra tersebut ditampilkan dalam koran,
faktor-faktor non sastrawi seperti keunikan, pelarangan politik, bakat
menghibur, yang tentunya sesuai dengan aktualisasi sering dijadikan
pertimbangan utama mengalahkan pertimbangan-pertimbangan sastrawi. Selain itu
juga persoalan kedekatan dengan pihak koran kerap menjadi syarat lolos tidaknya
karya sastra tersebut muncul ke permukaan.
Fenomena ini tak jarang memunculkan kesan bahwa
kesusastraan Indonesia generasi sekarang adalah dunia yang tidak memiliki
identitas. Hal ini diperparah dengan kondisi kritik sastra kita yang
memprihatinkan. Dan koran pun ternyata tak berperan banyak, selain lebih
mendahulukan ulasan pendek dan singkat dalam edisi minggu dari pada memuat
tulisan berisi kritik yang objektif. Tentunya ini akan berimbas pada peta
perjalanan sejarah sastra Indonesia.
Semestinya kita bisa berkaca pada Chairil Anwar yang
tetap meradang – menerjang, biar peluru menembus kulitnya. Si binatang jalang
yang terbuang dari kumpulannya ini mencoba untuk tidak peduli dengan ‘keadaan’
sekitar. Chairil tetap setia pada cita-cita kemedekaan kesusastraan Indonesia
daripada menjadi lonte kaum penjajah ketika itu atau pemilik modal sekarang
ini. Semoga!
*Penyair
Indonesia kelahiran Maluku. Puisi-puisinya terbit di sejumlah media, sejumlah bunga
rampai, dan
diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda dan Portugal. Mengikuti berbagai
pertemuan sastra di dalam dan luar negeri seperti Ubud Writers and Readers
Festival (UWRF), Borobudur Cultural and Writers Festival, Pertemuan Penyair
Asean, Temu Penyair Internasional Delapan Negara dan Temu Sastrawan Indonosia-Malaysia.
Ia telah menerbitkan tujuh buku
puisi: Metafora Birahi Laut (Lapena 2008), Lelaki yang Berjalan di
Atas Laut (Lapena 2009), Mahar Cinta Lelaki Laut (Tinta Pena 2009),
Riwayat Laut (UMMU Press 2010). Puisi Pilihan “Panggilan Laut Halmahera”
(UMMU Press 2011), Sebelum Laut Merebutku, Sepi (Garasi Genta 2013)
dan Laut Maluku Lekuk Tubuhmu (LovRinz Publisher 2016). Kini, dia tengah menyiapkan antologi ke-8 berjudul Telegram dari Tanjung
Sopi, dan album Puisi Musiknya yang
bertitel "Beta Dino, Cuma Satu" bersama sejumlah musisi dan
senimam Ambon. Di samping
menulis puisi ia juga menulis kolom dan menyutradarai film dokumenter. Buku
kumpulan kolomnya yang telah terbit
berjudul Republik Rampa Rampa (Lepkhair, 2016). Sambil berjuang menyelesaikan studi pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dia mengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku
Utara, menjadi Staf Khusus Gubernur Maluku Utara dan Direksi BUMD Maluku Utara.
Baca Juga:
Rumi, Umberto Eco, dan Semangkuk Sup - Ahmad Yulden Erwin
Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia - Herman Syahara
Bermimpi Lepas dari Hantu Gadget
Baca Juga:
Rumi, Umberto Eco, dan Semangkuk Sup - Ahmad Yulden Erwin
Rendah, Posisi Tawar Sastrawan Indonesia - Herman Syahara
Bermimpi Lepas dari Hantu Gadget