Buku: Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Buku: Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Kitab Puisi: Suluk Berahi
Karya: Gampang Prawoto
Kurator: Sofyan RH. Zaid
Prolog: Iman Budhi
Santosa
Epilog: Nia Samsihono
Penerbit: TareSI Publisher
Cetakan Pertama: September 2017
Selisih
Kau
berjalan dengan detik
sedangkan
yang lain menghitung
menit.
Wajar
kalau kita ada
persepsi
berbeda.
Walau
Sesungguhnya
Kita
akan bertemu
di
jam yang sama.
Jambon,13032014
“Sekadar berbagi, puisi-puisi saya dalam
kitab ini merupakan potret peristiwa yang bermula dari sebuah ‘persetubuhan’,
baik disengaja atau tidak disengaja yang tertuang menjadi kata dan doa dari
pengasingan jiwa yang tak tersentuh jepretan mata kamera. ... Akhir kata,
semoga kitab puisi Suluk Berahi ini dapat memberikan manfaat kepada semua,
khususnya bagi saya dan keluarga. Mengajar, berkesenian, dan menulis puisi bagi
saya adalah kebahagiaan dan kebebasan yang tidak bisa dibeli dengan uang.” (Mukadimah,
Gampang Prawoto)
Gampang Prawoto adalah seorang penyair yang
menuliskan karya-karyanya dalam dwi bahasa: Indonesia dan Jawa. Sehingga tidak
mengherankan jika puisi-puisi dalam antologi ini bertaburan pandangan khas
Jawa, juga kosakata Jawa. Maka, begitu membaca judul antologi: “Suluk Berahi”,
dan konon, judul dipahami sebagai mahkota karya
sekaligus berfungsi sebagai penunjuk arah menuju fenomena di luar teks
itu, saya merasa dia tengah berupaya mengubah berahi kemanusiaan kita sebagai
jalan lelaku olah batin.... Maka “Suluk Berahi” saya bayangkan merupakan upaya
mengangkat fenomena berahi (yang muncul dari dorongan seksual yang fisikal) ke
ranah spiritual, batin, atau rohani. Artinya, berahi kemanusiaan sengaja tidak dipunggel,
atau diamputasi, sehingga berhenti pada dimensi awal yang erat kaitannya dengan
manifestasi dorongan “nafsu supiyah” belaka.” (Prolog, Iman Budhi
Santosa)
“Puisi-puisi Gampang Prawoto dalam buku Suluk
Berahi menunjukkan keragaman tema yang digeluti oleh sang penyair. Ada
puisi-puisi yang bertema keagamaan dan bernapas religius. Ada pula yang puisi
yang menggarap masalah sosial. Namun, ada pula puisi-puisi yang mengusung tema
kesepian, kesunyian, dan keterasingan. Di luar semua tema itu, agaknya sang
penyair lebih suka menggarap masalah seksualitas. Tema ini sangat dominan,
sehingga sang penyair memberi judul buku ini Suluk Berahi. ... Oleh karena itu,
tak mengherankan ketika sejumlah puisi Gampang dalam buku ini menunjukkan tema
ketuhanan dan religiusitas. Penghayatan keagamaan diungkapkan sang penyair
melalui bahasa dengan menggunakan diksi, majas, metrum, metafora, yang menjadi
unsur estetika puisi. Puisi-puisi Gampang bukan sekadar religius, namun
cenderung sufistik.” (Epilog, Nia Samsihono)
“Penyair menulis puisi -lebih lanjut Sani-
adalah menulis suka-duka, pahit-manis, dan lain sebagainya yang dialami. Pengalaman
yang telah menjadi kesadaran dan berganti bentuk menjadi kata-kata dalam puisi.
Tidak ada yang mengingkari bahwa puisi dan kata adalah kulit dan manusia.
Penyair tidak akan bisa menulis puisi jika ia menyelesaikan -misal- deritanya
hanya dengan keluh kesah, berurai air mata ataupun mengepalkan tangan. Setiap
puisi terdiri dari kata, kata yang liar dan kasar, kemudian penyair
menjinakkannya dan dibuatnya patuh pada kehendaknya. Nah, pada titik tolak
inilah saya melihat puisi-puisi Gampang Prawoto dalam Suluk Berahi lahir dan
diletakan dengan mahir....Bagi Boejoeng Saleh, puisi tidak terletak pada
pilihan tema; apakah aktual ataukah bernilai abadi, melainkan pada kemampuan
dan penjiwaan penyair dalam menciptakan puisinya sendiri. Sedangkan penyair
yang ulung -menurut Boen S. Oemarjati- akan mengungkapkan secara tersurat apa
yang semula tersirat. Pencurahan, pengujaran, proyeksi makna-makna yang
adiluhur dari pikiran dan perasaan penyair yang terjadi dalam suatu greget
spontan, kreatif, dan mandiri. Bebas lepas dari ikatan apapun. Puisi-puisi
Gampang mencerminkan hal itu secara kuat.” (Catatan Kurator, Sofyan RH.
Zaid)
Endorsemen
“Membaca sajak-sajak Gampang Prawoto
kadang-kadang kita dilambungkan ke langit imajinasi yang aneh dan mengasyikkan,
tapi pada saat yang lain kita tiba-tiba dibanting ke bumi, ke depan realitas
kehidupan yang pahit dan menjengkelkan. Suatu permainan imajinasi yang bisa
membuat pembaca “terkejut” menemukan realitas kehidupannya sendiri.”Ahmadun Yosi
Herfanda, Pelayan Sastra
“....Bagi saya judul Suluk Berahi memang
meneladani gaya Suluk Gatoloco dan sejenisnya, disadari atau tidak. Sebab itu,
kitab puisi Gampang Prawoto ini memiliki akar tradisi yang kuat sekalipun
isinya persoalan mutakhir. Di sinilah menariknya kitab puisi ini sehingga
terasa lezat dan bergizi saat dibaca.” Djoko Saryono, Sastrawan dan Guru
Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
“....Butuh sejenak dua jenak perenungan untuk
memahaminya. Karena memang puisi karya mas Gampang Prawoto bukan reportase atau
berita koran. Sidang pembaca yang terhormat, selamat menikmati dan
mengapresiasi “suluk berahi” sepenuh rasa. Salam budaya!” Herry Lamong, Sastrawan
dan Penggurit Lamongan
“Suluk Birahi karya Gampang Pranowo
mengantarkan kita pada gambaran pengembaraan dan proses memaknai diri yang
tenang penuh matafora. Seorang manusia peka, yang terwakili dalam ‘aku liris’
puisi, terlihat menyatu dengan alam dan
lingkungan...” Yusri Fajar, Sastrawan dan Dosen FIB Universitas
Brawijaya
“Saya menyukai Suluk Berahi-nya Gampang Prawoto! Andaipun pujangga KRT. RPA. Suryanto
Sastroatmodjo yang lahir di Ndalem Sriwitaman Bojonegoro masih hidup, tentu
memanjatkan puja-puji syukur kehadirat Allah Swt, sebab dari bencah tanah
kelahirannya, susastra kian gemilang tetap teguh mengugemi ornamen kesejatian,
ruhaniah luhur para leluhur.” Nurel Javissyarqi, Pengelana asal Lamongan
“Membaca puisi puisi yang ditulis Gampang
Prawoto di buku kumpulan puisinya yang berjudul Suluk Berahi ini membuat saya
terkagum kagum, karena saya seperti membuka sebuah lembaran kisah
kehidupan yang terangkum dalam sebuah buku,...” Rini Intama, Pendidik
dan Penulis
“Suluk Berahi karya Gampang Prawoto adalah
”Anggur Keharuman” pada “Goresan Dinding Matamu” sebelum “Hanyut” dalam “Pusara Purnama” ketika “Titi Titra Warsa” menemui “Gadis Pematang”.”
Muhammad Rois Rinaldi, Presiden Lentera Sastra Indonesia