Bermimpi Lepas dari Hantu Gadget - A Dardiri Zubairi
Oleh A
Dardiri Zubairi*
Kawaca.Com - Seperti jaring laba-laba, gadget saat ini menebar perangkapnya. Semua orang disihir seolah gadget itu kebutuhan. Perangkap itu kian menebar dan melebar,hingga akhirnya membangun jejaring yang tak mudah untuk bebas darinya. Betul, hidup memang kian berwarna. Kian luas meski dalam ruang dan waktu yang kian sempit.
Di daerah saya, tak terbayang beberapa tahun lalu, seorang yang tengah menyabit rumput di sawah berbicara melalui ponsel dengan saudaranya yang jauh, atau mungkin yang sedang menjadi TKI di luar negeri. Sudah menjadi pemandangan biasa, petani pergi ke sawah ponselnya selalu menemani. Meski tanpa sadar, pekerjaan tidak selesai-selesai, karena waktu terus digeser dan ditunda untuk merampungkan sesuatu.
Lain lagi ketika saya shalat jumat di sebuah masjid. Ketika masuk di rakaat kedua, ada ringtone dangdut koplo berbunyi sangat keras menggema dalam ruangan masjid. Para jama’ah seperti berjuang menjadi khusyuk di tengah dendang music koplo yang rancak. Benar saja, selesai salam, semua jama’ah menoleh ke arah orang yang menjadi sumber masalah music koplo itu berbunyi. Bahkan ketika jama’ah pulang ada yang bilang, “dasar HP jahannam.”
Peristiwa seperti itu sangat sering saya jumpai. Di kegiatan tahlilan, ketika shalat jenazah, rapat, dan kegiatan lain yang seharusnya senyap, gangguan itu muncul. Mungkin kasus ini dibaca sekedar persoalan etika, tapi bagi saya lebih dari itu. Kayaknya manusia modern selalu ingin tampil berisik, meski di relung bathin sana sebaliknya, merindukan kesenyapan, kesunyian, dan kesederhanaan.
Penting Sekali, Gawat Sekali
Saya sebenarnya bermimpi lepas dari ponsel. Bagi saya ponsel begitu menyiksa. Bahkan saya seperti tidak lagi menjadi makhluk yang otonom. Makhluk yang bebas untuk sekedar merumuskan kesederhanaan dan kesunyian hidup yang saat ini kian mahal. Tergantikan oleh hidup yang bising dan penuh hiruk-pikuk atau hidup yang seolah selalu gawat.
Bayangkan, baru saja bersilaturrahim dengan saudara, dering suara ponsel berbunyi. “Dimana sekarang? Saya sedang meluncur ke rumah ente nih..ada perlu, penting banget” suara teman terdengar. Tanpa menunggu kopi keluar, saya pun akhirnya pamit sama saudara. Saya cuma membatin, pasti saudara bilang dalam hatinya, “ini mau silaturrahim atau pura-pura saja?”
Perjalanan pulang dari rumah saudara, ponsel terus bergetar tanda panggilan masuk. Saya terpaksa berhenti dan menerimanya, “jangan lupa besok ada rapat, hadir dong soalnya penting banget.” Nah penting lagi. Gawat lagi.
Tetapi seperti inilah yang saya alami. Entah dini hari, pagi, siang, sore, dan malam selalu saja ada orang yang “mengganggu” mulai dari yang punya masalah serius atau sekedar iseng. Semua hampir selalu sama. Penting sekali dan gawat sekali.
Lepas dari Gadget
Tibalah suatu saat, saya benar-benar lepas dari gadget. Saya seperti bebas dan lepas dari hantu. Meski hanya tiga hari saya sangat menikmatinya.
Bermula ketika saya main ke rumah teman yang rumahnya jauh. waktu saya mau pulang saya buru-buru. Akhirnya ponsel saya ketinggalan. Sebenarnya saya ingat ponsel ketinggalan ketika motor saya baru 200 meter dari rumah teman. Tapi waktu itu saya benar-benar malas mau balik.
Karena jauh, saya membiarkan ponsel di rumah teman hingga 3 hari. Betul-betul luar biasa. Jika dishare kira-kira pengalaman 3 hari tanpa ponsel adalah sebagai berikut :
Pertama, saya menikmati kesunyian yang tiada tara. Saat itulah saya menemukan saya. bisa merefleksikan kesendirian saya dalam sunyi. Merenungi makna hidup yang kian bising dan asing. Paling tidak menertawakan diri yang kian ringkih diperbudak gadget.
Kedua, saya menikmati kehangatan bersama keluarga yang sebelumnya tak pernah saya rasa. Saya tak perlu lagi menerima panggilan sambil mengabaikan rengekan anak mau digendong seperti sebelumnya. Saya tak perlu pura-pura mendengar curhat anak, pada hal sibuk mencet-mencet tombol ponsel. Waktu sepenuhnya milik saya dan keluarga, juga untuk para tetangga. Memang putus dengan dunia luar, tapi gantinga kuat di dalam.
Ketiga, saya seperti lepas dari hantu kesibukan yang tidak semuanya perlu dan penting. Saya seperti bebas dari terror “terburu-buru” karena seolah semuanya gawat. Saya kembali menemukan diri, mengatur ritme hidup berjalan sederhana.
Tetapi, ketika lepas 3 hari saya kembali memegang ponsel, saya dimarahi banyak teman. “kok menghilang, kemana aja sih…” waduh..rupanya tanpa ada ponsel, saya ternyata bikin dosa juga sama teman. Inilah repotnya. Bermimpi lepas selamanya, tapi tidak mungkin karena sudah kadung punya.
Maka yang bisa saya lakukan saat ini, saya harus menggunakannya dengan bijak. Contoh kecilnya,
Itu yang bisa saya lakukan, meski mimpi lepas dari hantu gadget masih menggelegak di dada. Ibarat hantu, gadget, bagi saya, kadang menakutkan.
Di daerah saya, tak terbayang beberapa tahun lalu, seorang yang tengah menyabit rumput di sawah berbicara melalui ponsel dengan saudaranya yang jauh, atau mungkin yang sedang menjadi TKI di luar negeri. Sudah menjadi pemandangan biasa, petani pergi ke sawah ponselnya selalu menemani. Meski tanpa sadar, pekerjaan tidak selesai-selesai, karena waktu terus digeser dan ditunda untuk merampungkan sesuatu.
Lain lagi ketika saya shalat jumat di sebuah masjid. Ketika masuk di rakaat kedua, ada ringtone dangdut koplo berbunyi sangat keras menggema dalam ruangan masjid. Para jama’ah seperti berjuang menjadi khusyuk di tengah dendang music koplo yang rancak. Benar saja, selesai salam, semua jama’ah menoleh ke arah orang yang menjadi sumber masalah music koplo itu berbunyi. Bahkan ketika jama’ah pulang ada yang bilang, “dasar HP jahannam.”
Peristiwa seperti itu sangat sering saya jumpai. Di kegiatan tahlilan, ketika shalat jenazah, rapat, dan kegiatan lain yang seharusnya senyap, gangguan itu muncul. Mungkin kasus ini dibaca sekedar persoalan etika, tapi bagi saya lebih dari itu. Kayaknya manusia modern selalu ingin tampil berisik, meski di relung bathin sana sebaliknya, merindukan kesenyapan, kesunyian, dan kesederhanaan.
Penting Sekali, Gawat Sekali
Saya sebenarnya bermimpi lepas dari ponsel. Bagi saya ponsel begitu menyiksa. Bahkan saya seperti tidak lagi menjadi makhluk yang otonom. Makhluk yang bebas untuk sekedar merumuskan kesederhanaan dan kesunyian hidup yang saat ini kian mahal. Tergantikan oleh hidup yang bising dan penuh hiruk-pikuk atau hidup yang seolah selalu gawat.
Bayangkan, baru saja bersilaturrahim dengan saudara, dering suara ponsel berbunyi. “Dimana sekarang? Saya sedang meluncur ke rumah ente nih..ada perlu, penting banget” suara teman terdengar. Tanpa menunggu kopi keluar, saya pun akhirnya pamit sama saudara. Saya cuma membatin, pasti saudara bilang dalam hatinya, “ini mau silaturrahim atau pura-pura saja?”
Perjalanan pulang dari rumah saudara, ponsel terus bergetar tanda panggilan masuk. Saya terpaksa berhenti dan menerimanya, “jangan lupa besok ada rapat, hadir dong soalnya penting banget.” Nah penting lagi. Gawat lagi.
Tetapi seperti inilah yang saya alami. Entah dini hari, pagi, siang, sore, dan malam selalu saja ada orang yang “mengganggu” mulai dari yang punya masalah serius atau sekedar iseng. Semua hampir selalu sama. Penting sekali dan gawat sekali.
Lepas dari Gadget
Tibalah suatu saat, saya benar-benar lepas dari gadget. Saya seperti bebas dan lepas dari hantu. Meski hanya tiga hari saya sangat menikmatinya.
Bermula ketika saya main ke rumah teman yang rumahnya jauh. waktu saya mau pulang saya buru-buru. Akhirnya ponsel saya ketinggalan. Sebenarnya saya ingat ponsel ketinggalan ketika motor saya baru 200 meter dari rumah teman. Tapi waktu itu saya benar-benar malas mau balik.
Karena jauh, saya membiarkan ponsel di rumah teman hingga 3 hari. Betul-betul luar biasa. Jika dishare kira-kira pengalaman 3 hari tanpa ponsel adalah sebagai berikut :
Pertama, saya menikmati kesunyian yang tiada tara. Saat itulah saya menemukan saya. bisa merefleksikan kesendirian saya dalam sunyi. Merenungi makna hidup yang kian bising dan asing. Paling tidak menertawakan diri yang kian ringkih diperbudak gadget.
Kedua, saya menikmati kehangatan bersama keluarga yang sebelumnya tak pernah saya rasa. Saya tak perlu lagi menerima panggilan sambil mengabaikan rengekan anak mau digendong seperti sebelumnya. Saya tak perlu pura-pura mendengar curhat anak, pada hal sibuk mencet-mencet tombol ponsel. Waktu sepenuhnya milik saya dan keluarga, juga untuk para tetangga. Memang putus dengan dunia luar, tapi gantinga kuat di dalam.
Ketiga, saya seperti lepas dari hantu kesibukan yang tidak semuanya perlu dan penting. Saya seperti bebas dari terror “terburu-buru” karena seolah semuanya gawat. Saya kembali menemukan diri, mengatur ritme hidup berjalan sederhana.
Tetapi, ketika lepas 3 hari saya kembali memegang ponsel, saya dimarahi banyak teman. “kok menghilang, kemana aja sih…” waduh..rupanya tanpa ada ponsel, saya ternyata bikin dosa juga sama teman. Inilah repotnya. Bermimpi lepas selamanya, tapi tidak mungkin karena sudah kadung punya.
Maka yang bisa saya lakukan saat ini, saya harus menggunakannya dengan bijak. Contoh kecilnya,
- saya matikan ketika rapat
- saya tinggalkan di kantor ketika mengajar
- saya taruh di rumah ketika ada undangan
- saya tinggal di rumah ketika jum’atan
- saya matikan ringtonenya, hanya getar
- saya matikan ketika mau tidur
- saya call teman/kawan di jam-jam santai
Itu yang bisa saya lakukan, meski mimpi lepas dari hantu gadget masih menggelegak di dada. Ibarat hantu, gadget, bagi saya, kadang menakutkan.
*Cendekiawan muda NU, pengasuh
pesantren, dan tinggal di Gapura, Sumenep.
Baca juga: